Kamis, 30 Juli 2009

Changeling


Film Amerika bergenre drama keluaran tahun 2008 ini berjudul Changeling. Sutradara Clint Eastwood membuatnya berdasarkan kisah nyata yang terjadi pada tahun 1928 di Los Angeles. Kisah tentang perjuangan seorang ibu untuk menemukan anaknya yang hilang. Peristiwa kehilangan anak yang juga dialami keluarga lain, hingga mengarah pada terbukanya kasus penculikan dan pembunuhan anak di "Wineville Chicken Coop" Los Angeles. J. Michael Straczynski menyusun 95% naskah Changeling setelah mengadakan pengamatan mendalam terhadap 6,000 dokumentasi tentang kasus tersebut. Pemilihan karakter dan karakterisasi film ini pun disesuaikan dengan tokoh-tokoh nyata dalam kasusnya yang sesungguhnya.
Changeling mengeksplorasi tema humanisme seperti diskriminasi terhadap hak perempuan, korupsi politik, kejahatan pada anak, dam reaksi terhadap tindak kekerasan. Karya bagus tersebut dipertunjukkan kali pertama dalam the 61st Cannes Film Festival 20 Mei 2008.



Dikisahkan pada tahun 1928 di Los Angeles, seorang ibu bernama Christine Collins yang diperankan oleh Angelina Jolie kehilangan anaknya, Walter (Griffith) sepulang kerja. Dalam suasana panik, ia laporkan kejadian tersebut di LAPD (Los Angeles Police department). Tak henti-hentinya ia berjuang menemukan anaknya kembali, hingga beberapa bulan kemudian kepolisian LA menemukan dan mengembalikan seorang anak yang diklaim sebagai "Walter" (Conti). Atas desakan polisi, Christine membawa anak tersebut kerumahnya. Namun ia tak tinggal diam. Kuatnya perasaan Christine bahwa ia bukanlah Walter membuat ia mengumpulkan bukti berupa tinggi badan dan pengakuan guru Walter mengenai sikap anak tersebut. Dari bukti tersebut, orang tua tunggal ini mengadakan konferensi pers yang menyebabkannya dijebloskan ke dalam rumah sakit jiwa oleh kepolisian.
Selama Christine berada di RSJ, seorang detektif, Ybarra (Kelly) pergi sebuah lahan pertanian di Wineville, Riverside County, untuk menangkap seorang imigran gelap Sanford Clark berumur 15 tahun. Penangkapan ini berbuah titik terang akan banyaknya aksi penculikan anak di Los Angeles. Melalui pengakuan si remaja tersebut didapat keterangan bahwa ia dipaksa pamannya, Gordon Northcott (Harner) untuk membantunya menculik dan membunuh sekitar 20 anak. Walter dicurigai menjadi salah satu diantaranya berdasarkan foto-foto sejumlah anak hilang. Setelah kabar tentang itu dirilis di media massa sekaligus menjadi bukti bahwa anak yang dipertemukan dengan Christine bukanlah Walter, tekanan masyarakat terhadap kinerja polisi semakin meningkat. Puncaknya Jones and Davis sebagai kepala polisi dicopot jabatannya.
Northcott ditangkap, diadili, di vonis bersalah, dan dihukum gantung oleh pengadilan. Eksekusi Northcott disaksikan oleh para orang tua yang anaknya terbunuh termasuk Christine. Beberapa tahun berlalu, hingga pada 1935, David Clay seorang anak yang disangka ikut terbunuh ditemukan hidup. Clay menuturkan ia dan beberapa anak termasuk Walter melarikan diri dari sekapan Northcott, meski setelah itu ia tak tahu bagaimana nasib Walter. Namun cerita Clay menumbuhkan harapan Christine akan keberadaan anaknya.
Cerita dalam film ini terinspirasi oleh kisah nyata yang terjadi tepatnya tahun 1926 ketika Gordon Stewart Northcott mengambil keponakannya, Sanford Clark, dari sebuah asrama di Kanada. Clark mendapat pelecehan seksual dari pamannya hingga Clark ditangkap polisi pada September 1928 dan mengakui adanya penculikan, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap sejumlah anak oleh Northcott dan ibunya, Sarah Louise Northcott. Namun, polisi hanya berhasil menemukan kerangka-kerangka manusia yang ditimbun di sekitar lahan pertanian. Christine Collins benar-benar ibu dari salah satu anak korban penculikan dan penganiayaan tersebut.
Beberapa tahun sebelum menulis kisah Changeling, J. Michael Straczynski, seorang penulis skenario dan jurnalis, dihubungi sebuah sumber di Los Angeles City Hall tentang keberadaan arsip kriminal yang akan dibakar. Setelah mendalami arsip tersebut, ia melakukan penelitian mendalam hingga menghasilkan naskah The Strange Case of Christine Collins. Juni 2006, Universal Studios dan Howard's Imagine Entertainment membeli naskah tersebut untuk diadaptasi dalam betuk film.
Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan seting waktu terjadinya peristiwa, maka James J. Murakami memilih beberapa gedung lama di LA sebagai tempat pengambilan gambar termasuk wilayah suburban di San Dimas, San Bernardino dan Pasadena yang dianggap dapat menggambarkan situasi LA tahun 1920an.
Penyesuaian kostum tak luput dari perhatian. Deborah Hopper (penanggungjawab kostum) bekerja keras menyediakan sekitar 1.000 kostum bercorak tahun 1920an untuk para pemain. Tentu saja ini bukan pekerjaan mudah karena rentang waktu yang panjang dan perkembangan dunia mode yang pesat. Gaya busana wanita pada masa itu adalah blus bercorak garis besar hitam, topi lebar klasik, jas bulu, dan sarung tangan kulit dan rajut. Untuk menyempurnakan penampilan, Hopper bahkan telah berkonsultasi dengan sejarawan. Wow, totalitas sinematografi Amerika.
Kelemahan hak wanita menjadi salah satu tema yang diangkat dalam Changeling. Upaya Christine mendapatkan haknya banyak terganjal oleh dominasi pria, dalam hal ini kepolisian LA. Wanita juga diposisikan sebagai pihak yang tidak dipercaya kesaksiannya. Namun, kritikus film, Prairie Miller menganggap Cangeling sebagai film bertema feminisme. Korupsi dalam hirarki politik menjadi tema lain. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap pejabat kepolisian dan ketidak mampuan pihak kepolisian itu sendiri mengatasi berbagai persoalan kriminal nampak begitu jelas. Sedangkan kekerasan terhadap anak menjadi tema sentral. Pola asuh dan komunikasi orang tua dan anak rupanya ingin pula ditujukan sebagai pesan moral.
Beberapa kritikus film memberikan apresiasi terhadap akting Jolie yang maksimal. Emosi dan semangat perjuangannya mampu ditunjukkan dengan baik.
Kemasan Changeling yang sarat pesan moral dan cukup dramatis membuatnya dinominasikan sebagai 1 dari 10 film terbaik 2008 oleh the National Board of Review of Motion Pictures. Tak hanya itu, karya hebat ini juga dinominasikan meraih penghargaan dalam 81st Academy Awards sebagai Best Actress (Angelina Jolie), Best Art Direction (James Murakami dan Gary Fettis), dan Best Cinematography (Tom Stern), 2008 African American Film Critics Association Awards sebagai Best Actress (Angelina Jolie), 2008 Art Directors Guild Awards sebagai Excellence in Production Design – Period Film (James Murakami), dan memenangkan penghargaan Best Film About Women dalam 2008 Women Film Critics' Circle Awards, serta beberapa penghargaan bergenngsi lain.

Read more...

The Devil Wears Prada


The Devil Wears Prada adalah film drama komedi yang dirilis tepatnya tanggal 30 Juni 2006. Film bertabur bintang hollywood tersebut diadaptasi dari novel dengan judul sama karya Lauren Weisberger yang terbit tahun 2003.
Ketertarikan saya untuk menonton film yang dibintangi oleh Anne Hathaway dan artis senior hollywood, Meryl Streep ini sebenarnya karena judulnya yang unik. Saya sangka filmnya bergenre komedi horor, namun sesaat setelah menonton seperempat bagian awal, saya sangat menikmati alur demi alurnya yang ringan dan lucu.
Secara garis besar, film berdurasi 109 menit tersebut berkisah seputar gaya hidup termasuk gaya busana. Maka tak heran jika hampir seluruh adegan menyuguhkan tampilan label-label produk terkenal dunia seperti Apple computers, Starbucks, T-Mobile Sidekick 2 mobile phone, Motorola RAZR V3 silver, Lincoln Town Cars, Mercedes-Benz S-Class S550, channel, prada, dan beberapa label produk fashion terkenal lainnya. Atas keterlibatan produk-produk fashion dunia tersebut, film ini dinobatkan menjadi film dengan biaya kostum termahal.



Lebih dari itu, penokohan masing-masing karakter digarap sangat bagus, terutama Maryl Streep yang dikesempatan kemudian berhasil meraih penghargaan Golden Globe sebagai aktris komedi dan musikal terbaik.
Dikisahkan seorang jurnalis lulusan Universitas Northwestern, Andrea Sachs atau Andy (Anne Hathaway) mendapatkan panggilan kerja di sebuah penerbitan majalah sebagai asisten kepala editor, satu posisi yang konon dijuluki a million girls would kill for. Sayangnya, Andy benar-benar tidak memahami apa sesungguhnya jenis pekerjaan dan terutama dengan siapa ia bekerja. Dari sinilah, sisi menarik dari film tersebut disuguhkan. Miranda Priestly (Meryl Streep) digambarkan sebagai atasan yang sangat perfeksionis. Karena sifatnya, ia banyak ditakuti bawahannya, perintahnya adalah sesuatu tak terbantahkan, serta gemar melontarkan ungkapan pedas jika terjadi sesuatu diluar keinginannya. Bos ini sangat fashionable dan mendewakan fashioned-style.
Andy yang sangat tidak modis tersebut menjadi buah bibir para staf, terutama seniornya, Emily Charlton (Emily Blunt). Gaya hidup yang berbeda dan tekanan sang bos itu sempat membuat Andy stress, hingga ia bertemu Nigel (Stanley Tucci), salah satu orang kepercayaan Miranda. Melalui Nigel, ia belajar menyesuaikan gaya busana, aksesoris, dan make up. Pendek kata ia merubah kepribadiannya. Aksi nyata Andy mengubah penampilannya mempengaruhi sikap Miranda. Ditambah dengan kemampuan Andy mengerjakan tugas-tugas yang diberikan membuatnya semakin dipercaya sang bos. Namun, karirnya pekerjaannya yang semakin cemerlang berbanding terbalik dengan kehidupan pribadinya. Tentu saja, karena hari-harinya sibuk melayani semua keperluan sang atasan hingga hubungan Andy dengan pacar serta teman-temannya merenggang. Di sinilah sisi-sisi dilematis yang dramatis di ramu cukup baik meski tetap tidak meninggalkan sisi komedi.
Hingga akhirnya, Andy merasa harus mengakhiri dilema. Dan ia memilih kehidupan pribadinya bersama pacar, keluarga, dan kawan-kawannya dibanding kesuksesan karirnya.
The Devil Wears Prada adalah karya adaptasi kedua David Frankel setelah Sex and the City. Bersama Wendy Finerman dan Karen Rosenfelt sebagai produser, ia membawa karya ini meraih penghargaan dari the National Board of Review dan The American Film Institute sebagai 10 film terbaik. Pada pertengahan Desember 2006, karya ini juga mendapat nominasi Golden Globe Award sebagai Best Picture (Comedy/Musical) dan Supporting Actress (Blunt).
Pengambilan gambar dilakukan dibeberapa tempat, diantaranya The McGraw-Hill Building, kantor majalah Runway, beberapa perkantoran di Manhattan, showroom milik Calvin Klein, The American Museum of Natural History. Kesemuanya berada di New York, Amerika. Pengambilan gambar juga dilakukan di Paris. Pemilihan Paris tentu saja bukan tanpa alasan, karena kota ini menjadi kiblat tren busana dunia.
David Denby dalam New Yorker menyatakan kritiknya bahwa film The Devil Wears Prada mengangkat kisah yang umumnya terjadi. Artinya tidak ada sesuatu yang unik dari film tersebut. Meski demikian, penghargaan dan nominasi penghargaan atas film ini cukup menjadi bukti kualitasnya.
Novel karya Weisberger yang telah diterjemahkan kedalam 37 bahasa ini tentu berimbas pada mudah diterimanya film adaptasinya oleh masyarakat internasional. Maka tidak salah jika, film the devil wears prada menjadi salah satu koleksi terbaik saya.

Read more...

August Rush


Keramaian dunia perfilman tahun 2007 bertambah semarak dengan dirilisnya August Rush. Film yang disebut-sebut reduplikasi dari Oliver Twist nya Charles Dickens tersebut digadang-gadang mendapatkan penghargaan di ajang Academy Award. Fil arahan sutradara Kirsten Sheridan bersama penulis skenario, Paul Castro, Nick Castle, and James V. Hart ini dirilis 21 November 2007.
Film ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang anak, Evan Taylor yang diperankan dengan sangat apik oleh Freddie Highmore. Ia tumbuh di satu rumah singgah dan menyimpan keistimewaan mampu mendengar musik lewat perantara alam, sinar, angin, udara, dan lainnya. Kemampuannya tersebut memberinya keyakinan bahwa kedua orang tuanya pasti masih hidup dan sedang berjuang menemukannya.



Perjalanan hidup membawanya bertemu Richard Jeffries (Terrence Howard), seorang pekerja sosial di Departemen Layanan Anak Kota New York yang berniat mengadopsinya setelah melihat kemampuan Evan dalam bermusik.
Cerita dikemas dengan sentuhan alur balik. Berawal dari bertemunya Lyla Novacek, (Keri Russell), seorang pemain celo terkenal dan Louis Connelly (Jonathan Rhys Meyers), gitaris dan vokalis band dari Irlandia di sebuah pesta. Meski tidak ada niat untuk mendekati satu sama lain sebelumnya, namun hubungan singkat terjadi antara keduanya malam itu.
Tanpa diduga, kebersamaan singkat tersebut menyebabkan Lyla hamil. Kehamilan yang sama sekali tidak diinginkan oleh ayah Lyla itu membuatnya kehilangan bayi di kemudian hari. Tanpa persetujuan, ayah Lyla menyerahkan bayi Evan ke panti asuhan untuk diadopsi.
Selama hidupnya, keyakinan Evan bahwa kesungguhannya mempelajari musik akan mempertemukannya dengan orang tua terus ada. Keyakinan itu membawa Evan kabur ke New York dan bertemu Aurthur dan teman-temannya, anak-anak pengamen jalanan hingga ia sendiri dipekerjakan bersama mereka. Kepandaian bermusik Evan yang luar biasa membuat Maxwell Wallace atau "Wizard" (Robin Williams), pria yang menampung anak-anak jalan tersebut menjulukinya "August Rush". Akibat terkena razia polisi, justru keberuntungan yang ia dapatkan karena ditampung di rumah singgah milik gereja hingga memberinya pendidikan musik di the Juilliard School. Evan dijadwalkan tampil di the New York Philharmonic in Central Park. Namun sayang sekali, tipu muslihat Wizard membuatnya harus sekali lagi turun ke jalan. Pada satu kesempatan mengamen di Washington Square Park, Evan and Louis yang notabene adalah bapaknya sempat bermain musik bersama, meski mereka tidak menyadari status itu satu sama lain.
Film berdurasi 113 menit ini memulai resolusi cerita saat Lyla mengetahui fakta mengenai bayinya yang ternyata masih hidup. Fakta ini membawanya ke New York untuk menemukan anaknya setelah terpisah 12 tahun yang lalu. Pada saat yang sama, Louis menggelar konser di kota yang sama. Pada malam konser, Evan berhasil kabur lagi dari Wizard dan bermain di konser tersebut. Pada bagian penutup, film yang mengambil Brooklyn Heights di Brooklyn, New York City di New York sebagai tempat syuting tersebut menyuguhkan adegan yang sangat dramatis, saat ketiga pemeran utama bertemu setelah sekian lama saling mencari.
Akting Freddie Highmore sebagai Evan Taylor atau August Rush memang sangat memukau hingga mengantarkannya meraih 2008 Won Saturn Award Best Performance by a Younger Actor. Paduan akting antara Keri Russell, Jonathan Rhys Meyers, Freddie Highmore yang sangat natural juga berbuah manis dengan meraih Best Family Feature Film (Comedy or Drama).
Penghargaan lain datang berkat sentuhan musik yang apik oleh Mark Mancina hingga dinominasikan meraih Academy Award for Best Original Song (Raise It Up). Mark Mancina menghabiskan 18 bulan membuat komposisi soundtract tersebut. Dalam sebuah pernyataan, Mancina menuturkan bahwa tema musik dibuat terlebih dahulu sehingga komposisi lagunya berisi potongan cerita kehidupan August. Ia juga beranggapan bahwa titik tolak cerita film ini adalah bagaimana kita merespon dan berhubungan melalui musik.
Respon berbeda datang dari berbagai kritikus. Dalam sebuah kolom di USA Today, Claudia Puig berpendapat bahwa tidak semua orang dapat menikmati cerita August Rush, namun jika mereka menyatukan diri dengan alunan iramanya maka tak akan ada masalah. Dalam pendapat yang berbeda, Pam Grady dari San Francisco Chronicle menilai film ini sebagai tontonan yang konyol dengan cerita yang menggelikan.
Terlepas dari pendapat miring para kritikus diatas, film yang diproduksi oleh Warner Bros Picture dan diproduseri oleh Richard Barton Lewis ini tetap dapat dijadikan menu utama untuk dinikmati di akhir pekan. Meski untuk menontonnya dibutuhkan konsentrasi karena rangkaian alurnya yang tidak searah.

Read more...

Rabu, 29 Juli 2009

Serpihan Pesan di 'Rumah Kaca' nya Pramoedya

Kita semua harus menerima kenyataan. Tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang karena manusia juga bisa membuat kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan baru, maka kemajuan sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia



Sejak zaman nabi, tak ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila
Siapa saja yang berhasil dalam usahanya adalah seorang guru yang menambahi ilmu dan pengetahuan umat manusia

Read more...

Senin, 27 Juli 2009

Kesunyian Bentangan Wonorejo

















Read more...

Candi Penataran












Read more...

Keteduhan Rimba Grojogan Sewu












Read more...

Candi Penataran


Tidak hanya sekali, saya mengunjungi candi Penataran karena berada dalam satu kota. Beberapa diantaranya untuk keperluan mengantar teman dari luar daerah yang kebetulan berkunjung ke Blitar. Begitupun saat saya mengabadikan baik gambar maupun narasi sejarah peninggalan purbakala ini. Bersama seorang teman dari Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, saya bersemangat menelusuri kompleks candi yang cukup luas tersebut.
Candi Panataran terletak di sebelah utara Blitar, tepatnya di lereng barat-daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter, desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Blitar. Lokasinya berjarak sekitar 12 kilometer dari Kota Blitar ini konon disebut sebagai komplek percandian terluas di Jawa Timur. Tercatat dalam laporan Dinas Purbakala tahu 1914-1915 nomor 2045 dan catatan Verbeek nomor 563.



Candi ini ditemukan pada tahun 1815 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, seorang Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang berkuasa di Negara Indonesia. Raffles bersama dengan Dr.Horsfield seorang ahli Ilmu Alam mengunjungi Candi Penataran sebelumnya mengabadikan hasilnya dalam buku "History of Java". Apa yang dilakukan petinggi Belanda itu diikuti oleh peneliti lain, seperti J.Crawfurd, Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1884), Jonathan Rigg (1848) dan N.W.Hoepermans (1886)
Di pintu utama areal candi, terdapat dua arca yang disebut Dwaraphala atau oleh masyarakat Blitar disebut "Mba Bodo". Terpahat dalam arca tersebut, angka dalam huruf Jawa Kuno : tahun 1242 Saka atau 1320 Masehi. Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa pahatan angka tersebut menunjukkan diresmikannya Candi Penataran menjadi kuil negara baru pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328 Masehi.
Di sebelah timur Arca terdapat sisa-sisa pintu gerbang yang terbuat dari bahan batu bata merah. Di sekitar gerbang terdapat bangunan berbentuk persegi panjang yang disebut Bale Agung yang dahulu berfungsi sebagai tempat pendeta.
Sebuah batu prasasti berdiri kokoh di sebelah selatan bale agung. Tertulis diatasnya maklumat berisi peresmian perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah dengan huruf Jawa Kuno bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi dikeluarkan oleh Raja Srengga dari Kerajaan Kediri.
Komplek Candi Panataran dibangung selama kurang lebih 250 tahun, mulai tahun 1197 pada jaman Kerajaan Kediri hingga tahun 1454 pada jaman Kerajaan Majapahit.
Candi berikutnya adalah Candi Naga yang berukuran 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Candi ini dikelilingi atau dililiti sembilan buah naga dan tokoh-tokoh seperti raja.
Dibagian paling belakang berdiri candi terbesar atau candi induk yang terdiri dari tiga teras bersusun dengan tinggi 7,19 meter. Terdapat arca Dwaraphala di sisi kedua tangga.
Setelah menyusuri urutan candi-candi, kami berjalan terus ke arah belakang kompleks. Disana terdapat kolam suci yang dahulu berfungsi sebagai tempat ibadah ritual. Kolam kecil ini hanya berukuran sekitar 2 x 5 meter.

Kolam tersebut merupakan penghujung dari rangkaian peninggalan purbakala di kompleks candi Penataran. Keseluruhan kompleks ini dikelilingi area persawahan dan pemukiman penduduk. Melihat kondisi masyarakat disekitarnya, kami mengasumsikan mereka tidak memiliki pendidikan tentang cagar budaya dan peninggalan purbakala, namun apresiasi dan rasa tanggungjawab akan kelestarian aset budaya ini sangat tinggi, terbukti dengan tetap terawatt dan terjaganya benda-benda purbakala tersebut.

Diambil dari pengamatan pribadi dan beberapa sumber.

Read more...

Museum Afandi: Jejak Kaki Sang Maestro


Menginjakkan kaki di kota yang konon terkenal dengan ikon-ikon budaya, Yogyakarta, menginsipirasikan saya untuk mengunjungi tempat-tempat berkesan. Beruntung saya berkenalan dan kemudian tinggal dengan teman yang juga memiliki hobi traveling. Pada bulan-bulan pertama tinggal dikota ini, kami masih memiliki keterbatasan jarak tempuh karena kendala transportasi. Dan Museum Afandi menjadi tujuan kunjungan kami yang pertama dengan alasan kemudahan transposrtasi.
Museum yang berlokasi di Jalan Raya Yogyakarta-Solo atau Jl. Laksda Adisutjipto 167 Yogyakarta. Mudahnya, museum yang dulu menjadi rumah pribadi Afandi ini berada tepat di tepi barat Sungai Gajah Wong, berjarak sekitar 500M sebelum Plasa Ambarukmo dari arah pasar Gejayan. Dengan menggunakan bus umum jalur 7 dari arah jalan Gejayan, kami sampai dalam 7 menit. Sekilas dari luar, tidak terlihat tempat istimewa ini, karena banyak beberapa pohon besar di kompleks museum, hanya papan nama tidak terlalu besar terpampang di pintu gerbang. Namun, jika masuk lebih dalam, baru terlihat keunikan lokasi yang dirancang sendiri oleh Afandi ini.



Kompleks museum terdiri dari 3 buah galeri. Pembelian tiket sekaligus tempat maha karya Afandi dipajang berada di galeri I. Kami sebagai pengunjung domestik dikenai biaya masuk 20.000 belum termasuk biaya kamera. Pada tahun 1962, galeri ini dibuka oleh affandi dan diresmikan tahun 1974. Di ruangan yang cukup lebar ini, sejumlah lukisan Affandi dari awal berkarya hingga masa akhir hidupnya serta beberapa barang berharga miliknya seperti mobil Colt Gallan tahun 1976 berwarna kuning kehijauan yang telah dimodifikasi serupa bentuk ikan, sepeda onthel kuno, reproduksi patung berbentuk dirinya dan putrinya yang bernama Kartika. Lukisan Afandi lebih banyak berbentuk sketsa-sketsa menyerupai lukisan belum jadi, hanya beberapa diantaranya yang berbentuk lukisan rapi yang kebanyakan menggambarkan diri dan anak-istrinya. Karena minimnya pengetahuan seni lukis, kami hanya bisa menikmati, belum mampu mengamati termasuk aliran seni lukis yang diacu Afandi, pola percampuran warna dan sebagainya.
Keluar dari Galeri I, kami menuju Galeri II. Diantara kedua galeri tersebut, terdapat taman kecil dimana Afandi dan istrinya dimakamkan. Galeri II yang diresmikan tahun 1988 tersebut memuat sejumlah lukisan para pelukis. Di lantai II, terdapat tangga menuju ruangan terbuka mirip menara. Disana kami bisa melihat arus deras sungai Gajah Wong dan keseluruhan kompleks musem.
Tak jauh dari Galeri II, berdiri Galeri III berbentuk garis melengkung dengan atap menyerupai pelepah daun pisang. Ruangan ini bersifat multifungsi karena lantai I dapat difungsikan sebagai ruang pameran dan lokasi Sanggar Gajah Wong. Biasanya anak-anak belajar melukis di ruangan ini. Di lantai II terdapat sebuah ruangan luas untuk perawatan lukisan. Di lantai dasar atau mirip lantai bawah tanah karena tempatnya menjorok di bawah difungsikan sebagai tempat penyimpanan koleksi lukisan.
Keluar dari ketiga galeri, kami menjumpai sebuah bangunan yang unik karena berbentuk rumah panggung, atapnya berbahan sirap dan berbentuk pelepah daun pisang. Di lantai I, ada Kafe Loteng dimana kami bisa menukarkan tiket dengan minuman ringan, sedangkan lantai II dahulu digunakan sebagai kamar pribadi Affandi. Lokasi ini dibuat nyaman dengan seperangkat meja-kursi taman sekaligus rerimbunan bunga dan pepohonan yang teduh. Dari kursi tempat kami bersantai, kami bisa melihat kolam renang melingkar yang dibangun Afandi untuk anaknya. Tempatnya agak menjorok ke bawah sehingga bentuk dan keunikan kolam terlihat jelas.
Keunikan kompleks museum Afandi dilengkapi dengan sebuah bangunan kecil berbentuk gerobak yang saat ini berfungsi sebagai mushola. Dahulu semasa hidupnya, ruangan ini berfungsi sebagai tempat peristirahatan Maryati, istri Affandi.
Sayang sekali, kami tidak sempat mengabadikan beberapa sudut yang berkesan, hanya beberapa dokumentasi berikut.

Read more...

Di Rimba Raya Grojogan Sewu


Di satu akhir pekan, saya dan dua sahabat karib memutuskan untuk mengunjungi Solo, satu daerah yang juga kaya akan keragaman peninggalan budaya. Namun, karena bosan melihat barang-barang kuno, kami berinisiatif untuk berwisata alam. Air Terjun Grojogan Sewu menjadi pilihannya.
Air terjun yang sedianya kami kunjungi terletak di kaki Gunung Sewu, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Cukup jauh dari tempat kami menginap di belakang kampus Universitas Sebelas Maret Solo. Kami gunakan bis besar jurusan Solo-Tawangmangu dari Terminal Tirtonadi Solo dengan tarif sekitar Rp. 7.000. Perjalanan dari Kota Solo sampai di lokasi bisa ditempuh selama sekitar satu setengah hingga dua jam.



Karena kurangnya pengalaman, sampai terminal Tawangmangu kami gunakan angkutan umum menuju lokasi, padahal jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar satu kilometer. Dengan tiket seharga Rp. 6.000, kami mulai memasuki area berupa hutan yang memiliki luas 20 Ha. Obyek wisata ini sebenarnya dikelola oleh lembaga Konservasi SDA Bogor.
Meski untuk menuju ke area air terjun, kami harus menuruni jalan setapak berupa ratusan anak tangga curam dan agak licin, namun tidak terasa melelahkan karena pepohonan yang menaungi kami. Rerimbunan pohon itu menciptakan nuansa teduh dan sejuk, ditambahkan dengan suara derasnya air terjun. Tinggi Air terjun Grojogan Sewu mencapai sekitar 81 meter. Curahannya tidak berpusat pada satu titik, namun menyebar ke berbagai penjuru, oleh karenanya air terjun ini dinamakan Grojogan Sewu yang berarti air terjun seribu.
Semakin dekat dengan air terjun, kami dikejutkan dengan kera-kera yang berkeliaran bebas. Awalnya kera-kera itu cukup membuat kami takut, namun untungnya mereka tidak terlalu buas, hanya meminta makanan ringan.
Radius beberapa meter dari lokasi air terjun, semakin terasa kesejukannya. Karena kepalang basah dengan percikan dari curahan air terjun, kami putuskan untuk terus mendekat dengan melewati bongkahan batu-batu besar yang cukup licin. Air di sekitar air terjun terasa sangat dingin namun segar.
Setelah merendam kaki beberapa saat di bawah air terjun, kami mengeringkan baju di badan di salah satu warung yang banyak berjajar di sekitar lokasi. Saya memesan sate ayam dan teh hangat, kedua teman memesan menu lain. Setelah dirasa cukup, kami memulai perjalanan pulang.
Tangga demi tangga yang menanjak harus kami lalui, tapi tidak perlu khawatir kelelahan karena di beberapa sudut belokan tangga, tersedia gazebo (tempat peristirahatan). Seperti kawasan wisata lain, Air Terjun Grojogan Sewu memiliki sejumlah fasilitas, seperti kolam renang, taman bermain anak, dan kios cinderamata.
Perjalanan wisata alam kali ini terasa berkesan, meski jauh dari keramaian.

Read more...

Enthnography And Ethnomethodology (Brief Introduction)

Varieties of Talk
The study of language comes broadly into the wider area. After investigating such number of language varieties, the various ways people communicate through language is also explored. The point we should slightly understand is that communication is not only the matter of transferring messages through spoken language, but also what it might be said as ‘the absence of talk’ or silent way and body movement. This second term particularly take us into the deep inside of language world. The deeper the more complicated. That is why the investigation about varieties of talk then apparently well-expanded.



Since the two varieties of talk; that are the talk (talkative) and the absence of talk (silent) found, Marshal (1961) did such field research concerning those two ways of talk. He clearly figured out that The Ikung, a bush-dwelling people of South West Africa, used language talkatively in consideration of avoiding such friction among groups in their community. Being known that hunters and gatherers are primarily their occupation, therefore cooperation and companionship must be built strongly by keeping communication open among them. However, there may particular vocabularies which often spoken by; such as about foods and gift-giving. In other case, the discussion about sexual matter, mentioning the name of Gods loudly is regarded to be taboo.
Just in contrast, The Western Apache of East Central Arizona as viewed bay Basso (1972) had extremely different way in expressing uncertainty and ambiguity. They expected to be silent when they meet strangers as well as the strangers do too. Consequently, they are difficult to adapt to the new relationship. This way also considerably to avoid any conflicts, that is why keeping silent on ‘the curse of all sorts’ is better than responding.
Garderner (1966) found out that The Puliyanese uniquely has both characteristics. In some ways they are cooperative that refers to much to talk about, but in other ways they are competitive in which they do not need to talk at all. Such societies, let’s say The Roti in The Southwestern Tip of Timor in Eastern Indonesian considered talking is only for pleasure. The Araucranian men of Chile are explicitly more talkative, while women re not. And so many examples of societies with their own characteristics in talking spread all over the world that are supposed to be different each other. Anyway, those differences arise from particular needs of societies, since language is arbitrary.

The Ethnography of Communication
Ethnography refers to the factors which mainly support a certain communicative event to attain its purposes. It can also simply be defined as the description of communication in particular culture. Hymes (1974) had already pointed out the 8 relevant factors of ethnography.
1.The setting and scene of speech. Setting derives from the truly physical condition in which speech occurred such as time and place. While scene refers to the abstract psychological setting. And it tends to be more culturally.
2.The participants. It refers to the 'doer', such as speakers-listeners who play the interchangeable role in conversation. However, there might be possibly more than just two person communications. Let's have a look to the classroom activity where the teacher delivers questions and the student should responds, while the rest of class member may become an audience.
3.Ends. It goes to the personal goals that are expectedly the out come of such exchanges. Different people may vary in the way they decide their own goals, since it takes very personal 'business'.
4.Act Sequences. It exposes the form and content of certain speech. For examples; word choices, ways of using, and the connection between particular content and the actual topic. Different setting will influence the form of speaking. People speak in the academic event will be completely different with the cocktail party chatter, for instance. Different people potentially have different ways of interaction and interpretation.
5.Key. It goes to the tone, manner, gesture, speech behavior, or spirits which are entirely contributed to the message sent. The key sometimes included to nonverbal element of speaking, for instance; serious, humorous, pedantic, ironic, hyperbolic, symbolic, etc.
6.Instrumentalities. It tends to be the choice of channel or style of communication, such as; oral, written, or graphic. It may also refer to the forms of speech, for instance languages, dialects, codes, etc.
7.Norms of Interaction and Interpretation. This term goes to the specific behavior of speaking and how do people interpretative it. Let's see how the church services have a certain norms of interaction. However because societies naturally vary their interpretation toward the social phenomenon, consequently there will be some groups who are considered to abnormal, unacceptable, middle class-society, 'high' class, so on.
8.Genre. It is kind limitation of such expression. The form of poems, prayers, editorials, ceremonial events, casual speech and any other different forms are the reflection of the culturally different way of expression.
These 8 factors are factually the proof that talk is kind of complex activity. It needs 'hard' work to be apparently presented. That is why speakers and listeners should be in ' good partnership' to make up the communication run smoothly. However, since communicators have different ability in communication, consequently there may be some misinterpretation which potentially disturbs the interaction of society.
Anyway, 3 linguists; Jakobson (1960), Halliday (1973), and Robinson (1972) figured out the different function of language in communication. These are such function that been listen by Halliday; instrumental, regulatory, interactional, personal, heuristic, imaginative, and representational. While these are Robinson's; avoidance, conformity to norm, aesthetic, encounter regulation, perfomative, regulation, affective, marking of emitter, role relationship making, referential, instruction, inquiry, and metalanguage function.
What should learn form language according to Gumperz (1972) are the communicative competence and the linguistic competence. In this term, Hymes tried to clarify by arguing that we learn both what language is and how to use it. The underlined point from this discussion is that learning to speak means learning to talk.
Ethno methodology
This term come from the body of sociology which concerns about talk-viewed. The expert of this study stands for investigating processes and techniques of world interpretation that done by people in their daily living, how people formulate their interpretation toward their real world In this case, the Ethno methodologists focus only on the phenomena of everyday existence. When people interact socially, they concern much in meaning and meaningful activity which mostly expressed verbally. Therefore language takes the very significant role in building up the relationship to one another.
Ethno methodologist mentioned the term commonsense knowledge as the variety of things. It can be a kind of things (fruits, vegetables, meals, etc), particular different things (water and fire, sun and moon), types (people, occupations, objects, events), or abstraction such as principles, understandings, objectives, definitions, etc. The general truth such as; the earth that goes around the sun, the life as the series of ups and downs, the children who will grow up gradually, etc. are also kind of commonsense knowledge. People acquire that knowledge through experience, during these processes people may acquired differently to one another because of different circumstances, goals, times and places, basically needs, and so on. Some people are excellent in comprehending world view but some people are not.
Well, then practical reasoning become the way they make a use of their commonsense knowledge. How they start questioning, reforming logical thinking, investigating such things, testing such hypothesis, solving problems, finding the knowledge, applying particular knowledge in everyday life, and so on.
In conclusion, the Ethnography and Ethno methodology broaden our mind into the very wide world phenomenon. What our life is and how it should be.

Read more...

Whorfian Hypothesis Framing Language and Culture

The discussion about language and culture will be merely more and more fascinated. Since both of them come in related each other. Sometimes we may say that certain language creates a certain culture, while some cases proved that the culture itself can build up a new language. However, to make the study easier, we must define the word 'culture' firstly before going on discussion. Goodenough (1957) slightly defined culture as everything known, done and believed by the doer or we mean, here, the individual as the member of society. Those things may necessarily consist of behaviors which do not come genetically but through learning process in the society.



The Whorfian Hypothesis
Since language and culture are debatable in the way one influence another, consequently linguistic scientists stood for investigating a different argument about this. Some believed that the structure of language determines the way the speakers think, act or behave in daily living, while some refused that argument. They figured out that culture definitely influence the language varieties. And the rest of them prefer to point out that language and culture stand independently without any relationship each other. These hypothesis concerning those two terms (language and culture) broaden its study till today.
Benjamin Lee Whorf, the student of Edward Sapir, found out the objective that is famously known as "The Whorfian Hypothesis". He mentioned that ideas are not independently formulated but the background of grammatical system generally modifies it. That is why different people view the world differently as they differentiate language structurally.
Whorf found his hypothesis through his two experiences, either as a fire prevention engineer for The Hartford Fire Insurance Company or Linguistic work on American Indian Language where he was a student of Sapir. He observed the specific vocabularies used by fire workers that were understandable among them. It is the same as the chemicals or physicians who easily talk about medical matters while we do not. It means the linguistic behaviors even purely behaviors itself are much determined by the linguistic formulas in which the situation is spoken. Whorf's experience as the linguistic observer led him to the investigation through the structure of Hopi language of New Mexico which is in contrast with European language; such as English, German, French, etc. in European language, the time order is presented in different structure while Hopi provided a process orientation toward the world. These distinctions formally influence the speakers in the way they form their world-view.
However, the previous theory of language and culture is not necessarily appeared because we may find in some cases people from different cultures speak the same, such Hungarians, Finns, and the Samoyeds of Northern Siberia, as it was pointed by Boas (1911) a long time ago.
What actually important from Whorfian hypothesis is not its validity but mastering a certain language can help the speakers in expressing particular situations.
Kinship System
The study about kinship seem interesting since it is complicatedly various. Almost every language differ in renaming and redefining the label of family members, for instance; The Njamal (a tribe of Australian Aborigines) calls his or her father's brother's daughter as 'Turda' whereas 'cousin' in English. They used the word 'maraga' to mention any daughters who are younger than.
Again, the world of language develops dynamically, the result is the kinship system also may more vary and vary depends on an appropriate situation that occur.
Taxonomies
Since people differ in the way they occupy themselves, as the result, there will be a great number of different classification and categorization of any aspects of the world. Scientists take a place on their appropriate scientific matter, while librarians and story-teller, for example, do too. They unconsciously manipulate language into various forms depend on its own place.
Then, linguists offer the discipline called 'Folk Taxonomies' which refers to the way of classifying a certain part of reality in order to make some easiness in the world of communication.
Folk Taxonomies may also means specifying such word choices in such matters. Frake (1961) once held a studies concerning this term on The Subanun of Mindanano in The Southern Philippines. They used particular term to describe disease.
The study about Folk Taxonomies effectively helps us to investigate how people organize the world around them.
Color Terminology
Language and culture exploration, then, come to the study of color terminology. This is basically simple; however, it is able to colorize the area of language varieties, because a particular language has a particular word to express color.
Each language generally has the basic color terms, for instance English has only a single word to mention basic color; blue, yellow, red, and so on. However, the need of people to express more than only basic color, consequently led them to create a certain word such as 'the light blue, pale yellow, grayish brown, etc.
Prototype Theory
This theory refers to the way people codify such things and situation around them. People prefer to classify a particular thing arbitrarily. For example; apple, orange are included to kind of fruit while tomato is not.
Hudson (1980) pointed out that Prototype Theory is an easy way for people to express language verbally from such things and situation that are occurred. This theory is not only helps us to form an ideas but also to draw social competence in the use of language.
Taboo and Euphemism
Taboo stands for a certain expression which is considerably avoided because, usually, norm wants it to be avoided for some particular reasons. Society defines taboo particularly as kind of behaviors that are harmful to its members. Taboo has wide areas, such as sex, death, excretion, bodily function, religious matter, etc. Language taboo in particular community may be not meant so in another community. That is why people should be careful in giving judgment on certain language varieties. It means a language used by particular society may be not the superior one among others.
In other hand, Euphemistic expression, people are allowed to express certain tabooed, of course, in particular ways. However, taboo and euphemism arbitrarily based on a society’s agreement. All those things refer to language varieties.


Read more...

The Existance of Local Languages

“Bilingualism is a norm and monolingualism is an exception”
Ronald Wardaugh
Abstraction
The discussion is begun from the thesis of Wardaugh. He purposed the issue of bilingualism and multilingualism as a consequence of the development of human civilization. In spite of that, Indonesia which is constructed from a very complex cultural background is defined as multilingual country. Actually many aspects may support the existence of multilingualism. Otherwise, multilingualism, in some cases, may potentially create local or even national problems. The coming issue will be valuable to discuss to find out ‘win-win solution’.



Local Language as a Part of Language Variety
Local language as language variety has come to be one of the greatest masterpieces of human’s. However, the term ‘variety’ itself may have more than one interpretation. Hudson defined ‘variety’ as a set of linguistic item with similar distribution. In line with that, Wardaugh defined regional variation as dialects. If it is, Blitar Javanese, Solo Javanese, Tegal Javanese are parts of language variety. Ferguson offered another definition that is any body of human speech pattern which is sufficiently homogenous to be analyzed by available techniques of synchronic description.
We can, then, compile both definitions by underlying the term ‘linguistic item’ and ‘human speech pattern’ and associating them to some external aspects such as social group, geographical setting, cultural background, and so on. It is the fact that the multiculturalism of Indonesia may support the growth of language varieties. Local language spoken in Java is not completely the same as in Bali, Sulawesi, Papua, and any other regions in Indonesia, because geographically and culturally, they are different.
Local language etymologically means language used in particular place. Local language can also be defined as ‘vernacular’ as being described by Pei and Gaynor that language which is commonly used in certain place or certain geographic place.
That Indonesia is the archipelago country with over thousand islands is famously known. Every island is divided into several parts and subparts. Different parts of regions usually have different language. People in particular region almost speak differently from other regions.
Local languages in Indonesia are juridical-legitimated as one of national culture parts by purposing section 36/point XV and UUD 1945. Since local languages have rights to be protected by the government, its speakers should reasonably pay much attention and preserve the progress of local languages. The Indonesian government has also given an open chance to local languages to develop through formal education. It is proven by taking local languages into account during learning process in educational institutions. For instance, elementary and junior students are still learning Sunda language today.
However, the restlessness concerning local language extinction considerably should be taken into account too, because there are some real cases. Let’s have a look to Indian language in America, Aborigine language in Australia or even Kaili language as mother tongue of central Sulawesi people that come closer to be extinct.
It is the fact that the ‘battle field’ factually has been opened for both local languages and Indonesian language as the official language to compete each other. Being understandable that the use of Indonesian language cannot be avoided in the recent years. Everybody considers that globalization and modernization make everything changes including language. This is basically the main point of discussion. The problem of the existence of local languages among the progress of era appears to be in existence. While local languages naturally are functioned to develop and support the culture of certain place in this country. Of course, to preserve Javanese culture, the society basically needs Javanese language to communicate with and to promote it. Furthermore Indonesia is constructed from a hundreds attractively meaningful local cultures that are supposedly needed to be preserved.
Almost every member of society has his or her mother tongue before learning Indonesian language as an official language. It means the formal education at home is handled communicatively by local language, since it is a very natural communication tool in one’s original community that naturally reflects moral and cultural value. Prof.Dr.H.Mudjia Rahardjo, M.Si., expert in sociolinguistics, once stated that one word carries a moral and cultural value that cannot be carried even by its synonym. That’s why; local language is not a linguistics system which can be changed easily by another language. This is the matter of how speakers of certain local language view the world that refers to solidarity, social identity, and thinking process. In conclusion, local languages in Indonesia specifically carry Indonesian local cultures.

References
Wardaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. UK: Blackwell, Basil
________. 1977. Introduction to Linguistics. USA: McGraw-Hill, Inc
Chaedar, A. Alwasilah. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa
Oxford Learner Dictionary

Read more...

A Brief Overview on Language and Sex

It is the fact that the nature of language depends on the nature of human creature. That is why, since human being develops wider and greater in more complicated ways, consequently language develops as well.
One believes that there is a close connection between language structures, vocabularies in use, word expressions, and the social role of men and women. Some linguists then offer the term ‘sexist in language’.



Male and Female Differences
The study about language from the sex point of view will be particularly interesting, since language phenomena, in the majority of cases, are arising from the term of sex. This overview is going to investigate how male and female influence language in use. There may be assumptions among societies that females have less muscle, low voices, but more mature and living longer than men. In some cases it is true. Females live longer because they have different roles and jobs in society. Being consideration, there are beliefs arising from social construction that females voice should be more tenderly polite and lower. Therefore a voice quality and any other verbal skills between male and female are claimed different. As what have occurred in the Lesser Antilles of West Indies, male and female Caribs Indians tend to speak in different language.
Still, language and sex has also pointed the phonological differences between male and female. Let’s see what is happening Gros Ventre, an Amerindian language of the Northeast United State, in which women have palatalized velar stops (i.e. kjatsa/bread) whereas men tend to have palatalized dental stops (i.e. djatsa/bread). In Northeast Asian language, Yukaghir, women and children tend to have /ts/ and /dz/, while men have /tj/ and /dj/. However, both old men and women have /cj/ and /jj/. That is why, the term differences not only pointed to sex-related but also age-graded. Haas (1944) figured out that in Koasati, an Amerindian language spoken in Southeastern Lousiana, men often pronounced ‘s’ at the end of verbs while women did not. Any other examples including phonological differences evidently arise from several parts of the world.
Again, language and sex may also be observed form the area of morphology and vocabulary. There are words and expressions which are used by women only (or just the opposite). Lakoff (1973) once listed some words expression that commonly and frequently spoken by women, such as; lovely, sweet, charming, divine, so good, such fun, precious, adorable, darling, fantastic, and so on. Furthermore, English as a language that is widely socialized has particular distinctions of sex-based, for instance; actor-actress, man-lady, father-mother, boy-girl, widow-widower, bachelor-spinster, etc. But sometimes, we also may find such inconsistencies. Let’s observe the word ‘policeman, chairman’ that are pointed to both male and female. Consequently, linguists should generate all those problems by establishing the new categorization in which can accommodate the gender system. Being comparable, Chinese, Japanese, Persian, and Turkish do not have such distinctions of sex-based. However, Japanese women tend to ass the ‘ne’ in a sentence final particle. Men according to Japanese use ‘wasi’ or ‘ore’ to point him, while women use ‘watasi’ or ‘atasi’.
Still, Thai, Yana language of California, Dyirbal people of North Queensland (Australia), the Trobriand Islander and many parts of the world have specific way to point male and female. In general, those language varieties very likely refer to how the speakers (members of society) view language perhaps from their cultural background.

Some Possible Explanations
Kramer (1974) found out how men women are different in the way they behave and view things by observing the cartoons in The New Yorker magazine that was published between February 17 and May 12, 1973. It illustrated some different characteristics of both sexes, men speak more than women, and they usually take business, politic, sport, legal, tax, aggression, and doing thing as their topics in most conversations. In the opposite, women prefer to talk about life style, social life, book, food and drink, life’s trouble, feeling, home and family, and affiliation. In cross-sex conversation, women tend to apologize to men, do not protest when they are interrupted and very rarely interrupt men, while men frequently interrupt women, challenge, and dispute, try to control topics, and are inclined to make categorical statement. In can be simply to say that the majority of cases, men are dominant and women are subservient in cross-sex conversation.
Maltz and Borker (1982) stated that the clash and miscommunication between men and women happen quite often in North America because they come from different sociolinguistics subcultures; as a result, both of them have their own linguistics behavior or even language in conversation. The signal ‘mhmm’ of women’s means ‘I am listening’ but ‘mhmm’ of men’s refers to ‘I am agreeing’. Hence, they often do not reach out the harmonistic in social interaction.
Those symptoms of problem, as it had been said by Lakoff, is arising primarily from the differences of interests, roles, jobs, types of conversation, and reactions between women and men.
The issues of reconstructing language following the problem of distinctions between femininity and masculinity then come to some suggestions to avoid sexist in language, i.e. early man, salesman, and common man are modified into early human, salesperson, ordinary people. Anyway, what about the word ‘she’ and ‘he’? Language logically may not be sexist. It is only the matter of how men and women as the user of language itself want to achieve their own purposes. Since sexual differences naturally exist, consequently it gives the effects on the variety of language itself as their means of communication.
Keenan (1974) argued that sex differences in language refer to social origin rather than linguistics behavior. He figured out that men in Malagasy have different behavior toward language from that is appeared in common. They (men) do hardly such efforts to reach out good communication, avoid the clash and confrontation, tend to be indirect in speech, request inexplicitly. In other hand, women are the opposite of men. They are open, direct, and straightforward in expressing things and criticize. For that reason, women of Malagasy usually handle such things, interacting with strangers, buying and selling, negotiating price, and reprimanding children. Those phenomena are brought up inherently. Their boys are taught to be as men, and so are women.
We come to wrap up this discussion by restating that in certain societies, men are more powerful and assertive. They are considered to be superior and frequently control the social interaction, while at the same time; women tend to be less powerful and inferior. Other than in some other societies, those types of social definition do not exist. And as long as human grow and change to keep up the continuity of life, language will also develop following the nature of human growth.

Read more...

Di Beranda Waduk Wonorejo yang Damai


Obyek wisata pegunungan Waduk Wonorejo tidak sekali itu saya datangi. Panorama alamnya yang indah membuat saya ingin mengunjunginya di kali kedua. Bersama keluarga, saya berangkat menuju kawasan wisata di daerah Tulungagung itu.



Waduk Wonorejo memiliki fungsi ganda. Selain sebagai tempat wisata, tempat ini befungsi sebagai PLTA. Oleh pemerintah daerah Tulungagung, waduk ini digunakan sebagai penyuplai air bersih dan irigasi.

Dari pengamatan saya, obyek wisata ini dilengkapi berbagai fasilitas seperti Jets Ski, perahu Kano, Bumi Perkemahan dan Lintas Alam, pemancingan air tawar, sirkuit untuk event Motocross, Resort dan Villa.
Namun bagi saya, memandangi hamparan danau buatan yang berair tenang dengan bebukitan hijau yang mengelilinginya adalah daya tarik utama waduk ini. Keadaan alamnya yang bersih, sejuk, dan teduh membuat pengunjung betah berlama-lama di sana.
Meski tidak terlalu ramai oleh pengunjung, namun area wisata ini tetap nyaman untuk kami menggelar tikar dan sarapan bersama.

Read more...

Selasa, 21 Juli 2009

Supernova 'Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh'

Kita semua terlahir dengan membawa tanda tanya agung.....Tanda tanya yang sama menggantungi setiap atom di semesta ini, bukan eksklusif milik manusia saja. Hanya ekspresinya yang berbedaa-beda. Perubahan cuaca, gempa bumi, kemunculan spesies baru di dunia flora dan fauna..sampai matahari yang terbit dan tenggelam. Mereka semua digulirkan oleh satu tanda tanya yang sama. Kemanapun kita berpaling, sejauh apa pun kita berlari, kita akan selalu bertemu dengannya...tanda tanya tentang dirinya sendiri

Mati dan hidup tak lebih dari sekedar gerbang pengalaman. Kita memilih mengalami keduanya dari detik pertama kita jadi embrio. Yang penting bukan dua ujung itu, tapi proses di tengahnya



Keteraturan mau tak mau harus berkaca, agar menemukan bahwa dirinya ternyata berasal dari sebuah maha ketidakteraturan.

Tidak ada awal dan akhir. Tidak ada sebab dan akibat. Tidak ada ruang dan waktu. Yang ada hanyalah ADA. Terus bergerak, berekspansi, berevolusi. Sia-sialah orang yang berusaha menjadi batu di arus ini, yang menginginkan kepastian ataupun ramalan masa depan, karena sesungguhnya justru dalam ketidakpastian manusia dapat berjaya, menggunakan potensinya untuk berkreasi

Puteri,
Kembalilah ke puri ini.
Satu semesta mungil yang mampu melumat bumi
Kalau aku mau membentangkannya
Inilah nirwana yang mampu menampung perasaan kita
Bumi punya langit sebagai jendela terhadap galaksi maha luas yang berjaya dalam misteri
Jendelaku adalah carik-carik kertas berisi daftar pertanyaan tentang dunia
Yang tak akan habis dimengerti
Bumi menggetarkan nyali dengan palung-palung dalam
Aku pun cuma punya beberapa piringan hitam-
Laut pribadiku yang didalamnya selalu ada kamu, dan kamu lagi
Samudra kata terbelit musik dan diudarai kenangan
Di dalamnya aku bisa berenang selama ikan
Bumi adalah hampara sebuah kumparan besar yang melingkarkan semua makhluk dalam kefanaanya
Melingkarkan engkau dan aku

Love shall set you free

Read more...

Supernova 'Akar'

Hidup ini relatif, apa yang kamu pikir salah di sini bisa jadi sahih di tempat lain

Tidak ada gunanya kabur demi mengulur-ngulur masa depan. Karena tidak ada masa depan.. semua sedang terjadi



Jangan takut. Jangan menyerah. Hidup ini sesungguhnya indah

Hidup ini ibarat memancing di Kali Ciliwung. Kamu tidak pernah tahu apa yang akan kamu dapat: ikan, impun, sandal jepit, taik, bangkai, dan benda-benda ajaib lain yang tak terbayangkan. Dan nggak perlu dibayangkan.

Kita memang tidak pernah tahu apa yang dirindukan sampai sesuatu itu tiba di depan mata. Kita tidak pernah menyadari ketidaklengkapan hingga bersua dengan kepingan diri yang tersesat dalam ruang dan waktu

Art carries out nature’s unrealized ends

Berhenti mencari, maka kamu akan menemukan

Read more...

Sepenggal Kata dari Beberapa Teman Terbaik..

Tidak ada seorang pun dapat kembali ke masa lalu untuk membuat suatu awal yang baru. Namun, setiap orang dapat memulai saat ini untuk membuat suatu akhir yang baru (Seorang kawan dekat)

Masa depan tercipta karena rasa takut. Ketika rasa takut tak ada, tak perlu lagi ada masa depan. Manusia menentukan, Tuhan mengusahakan (Gus Faoz)



Keburukan yang membuat kita lebih baik adalah sebuah kebaikan (seorang kawan dekat)

Orang besar yang sedang menjalani hal besar pasti ditantang dengan sesuatu yang besar (seorang kawan dekat)

3 hal di dunia ini yang tak pernah kembali; waktu, perkataan, kehidupan
3 hal dalam kehidupan jangan sampai hilang; kehormatan, harapan, kejujuran
3 hal yang paling berharga dalam kehidupan; kepercayaan, cinta, persahabatan (someone)

Read more...

NOVEL BEYOND ILLUSION KARYA DUONG THU HUONG

“…kita tidak sungguh-sungguh memikirkan masalah sampai tuntas. Kita mencangkuli satu lahan pertanian, lalu meninggalkannya untuk menggarap lahan lain, bahkan sebelum sempat menebar benih. Kita tidak mampu berpikir mendalam, mengakar…” Nguyen

“…jadilah kita orang-orang dangkal, superficial, impulsive. Setiap masyarakat memang punya kekuatan dan kelemahan sendiri. Tapi hanya bangsa yang berani mengakui kelemahan dan kegegalannya sendiri adalah bangsa besar. Maut berawal ketika rasa puas diri mulai timbul. Persis seperti halnya seorang pengarang yang menganggap karya-karyanya sudah mencapai puncak seni. Sebuah bangsa yang hanya tahu hidup berpuas diri dengan apa yang sudah dicapai dan tidak berbuat apa-apa lagi, tinggal menunggu kehancuran..” Nguyen



Begitulah cinta. Cinta memberikan aura misteri pada sang kekasih, pesona dan keharuan yang akarnya hanya dapat ditemukan dalam baying-bayang piker dan rasa. Dan cinta meruntunkan pemertanyaan tak putus-putusnya, daya tariknya tak bisa ditolak, misterinya tiada waras..” Linh

Debu apa kiranya telah dititiskan dalam diri ini, hingga suatu hari nanti kepadaku debu’ku mesti kembali? Lan

Dan langit menyaputkan mega
Hujan mengaburkan jua
Bayang-bayang kekasih tercinta

Bayang-bayang kekasih tersayang
Pelahan menghilang dihujan

”..aku sudah datang lebih dari satu kali sejak kalian disini. Memang benar: Aku masih mencintai kamu. Tetapi orang harus mengenali batas-batas dirinya. Seandainya aku tidak belajar hidup dengan pikiran dan kepedihan akan kehilangan kamu, bagaimana aku mampu bertahan? Kau menganggapku orang kudus, sesuci yang bisa kau angankan tentang orang suci. Tapi waktu kau melihatku dalam cahaya siang benderang, melihat bahwa orang kudusmu tak lebih dari sebungkah tanah liat kering dioles cat, kau campakkan itu kejalan tanpa kau pernah melirik lagi kebelakang. Tetapi aku bukan orang suci yang terbikin dari semen, aku laku-laki yang harus menjalani kenyataan hidup seorang laki-laki..” Nguyen

“… saat-saat kelemahan, kepengecutan, kehilafan, itu terjadi pada setiap orang. Yang penting ialah mengetahui mengapa kita terperosok kesitu, melihat kalau-kalau kita bisa memaafkan.” Nguyen

Read more...

MONUMEN YOGYA KEMBALI: Saksi Mata Heroisme Pejuang Yogya


Monumen Yogya Kembali atau lekat dengan istilah ‘monjali’ didirikan tidak jauh dari jantung kota Yogyakarta, tepatnya di jalan Ring Road Utara atau di Dusun Jongkang, Kelurahan Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kapubaten Sleman. Pada suatu kesempatan, saya dan salah seorang teman dekat bermotor mengunjunginya. Kebetulan jarak Monjali dari tempat tinggal kami cukup dekat, hanya berjarak tempuh 10 menit tanpa hambatan lampu merah. Sengaja kami pilih hari Selasa untuk menghindari keramaian pengunjung sehingga leluasa berkeliling. Tiket masuk relatif murah, 5.000 rupiah untuk dewasa dan 7.500 untuk wisatawan asing.



Memasuki kompleks Monjali, nuansa heroik mulai terasa karena di pasang replika Pesawat Cureng di dekat pintu timur dan replika Pesawat Guntai di dekat pintu barat unit, dibawah tembok tinggi menyerupai benteng. Tepat di belakang tembok depan, terdapat dinding lebar dan tinggi memuat 420 nama pejuang yang gugur antara 19 Desember 1948 hingga 29 Juni 1949 serta puisi Karawang Bekasi-nya Chairil Anwar. Disini saya sempat membaca beberapa nama sekaligus mengabadikan gambarnya.

Ada sejarah besar yang melatarbelakangi pembangunan monumen ini. Saying sekali dalam hal ini, saya tidak mendapatkan sumber detail peristiwa bersejarah tersebut. Namun secara sederhana dapat digambarkan bahwa Agresi Militer II pada bulan Desember 1948 melakukan pendudukan atas Yogyakarta. Atas gagasan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Letkol Soeharto selaku Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III memimpin serangan bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam. Dan ini merupakan satu kekalahan bagi Belanda.
Pertempuran yang kemudian dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret tersebut yang menjadi bukti bahwa TNI masih memiliki kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Serangan ini pula mengisyaratkan pada dunia bahwa RI masih eksis.
Peristiwa besar yang akhirnya didengar PBB membuat PBB memaksa Indonesia mengadakan Komisi Tiga Negara (KTN) yang menghasilkan perjanjian Roem Royen tanggal 7 Mei 1949. Perjanjian itu menyepakati beberapa hal, yaitu Belanda harus menarik pasukannya dari Indonesia, dan memulangkan Presiden Soeakrno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ke Yogyakarta. Klimaks dari rangkaian peristiwa ini adalah penyerahan kedaulatan kepada RI oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
29 Juni 1985 diletakkan batu pertama pembangunan Monumen Yogya Kembali (Monjali) untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut. HB IX meletakkan batu pertama setelah melakukan upacara tradisional penanaman kepala kerbau untuk monumen setinggi 31,8 meter. Pembangunannya memakan waktu empat tahun. Hingga pada 6 Juli 1989, Presiden Suharto menandatangani prasasti. Monumen diatas tanah seluas 5,6 hektar ini berbentuk gunung yang melambangkan kesuburan.
Monumen dikelilingi oleh kolam yang dibagi oleh empat jalan menuju bangunan utama. Jalan barat dan timur menghubungkan dengan pintu masuk lantai satu yang terdiri dari empat ruang museum. Museum tersebut memuat kurang lebih 1.000 koleksi baik replika maupun peninggalan asli dari perjuangan sebelum kemerdekaan hingga Kota Yogyakarta menjadi ibukota RI, diantaranya seragam tentara, kursi tandu Panglima Besar Jenderal Sudirman, perlengkapan perang, foto-foto peristiwa, dan lainnya. Lokasi museum dilengkapi ruang Sidang Utama, yang berfungsi sebagai ruang serbaguna.
Saah satu ruangan yang menarik perhatian kami adalah ruang diorama yang berisi 10 diorama menggambarkaan rekaan situasi saat Belanda menyerang Maguwo pada tanggal 19 Desember 1948, SU Satu Maret, Perjanjian Roem Royen, hingga peringatan Proklamasi 17 Agustus 1949 di Gedung Agung Yogyakarta.
Lantai teratas disebut tempat hening. Ruangan ini berbentuk lingkaran dengan tiang bendera yang dipasangi bendera merah putih di tengahnya. Relief gambar tangan yang menggambarkan perjuangan fisik terletak di dinding barat dan perjuangan diplomasi pada dinding timur. Ruangan bernama Garbha Graha itu berfungsi sebagai tempat mendoakan para pahlawan dan merenungi perjuangan mereka.
Keluar dari bangunan utama, kami duduk-duduk sejenak di taman belakang karena cukup nyaman meski tidak luas. Monumen Yogya Kembali sepertinya dibangun memang khusus untuk keperluan wisata sejarah. Hal ini terlihat dari tidak dibangunnya pusat pertokoan atau tempat bermain selayaknya tempat wisata lain.

Read more...

Tamansari: Surga Dunia Para Raja


Pada satu senja, dalam perjalanan tanpa tujuan, saya bermotor kearah selatan. Melewati perempatan Benteng Vredenburgh, saya terus ke selatan hingga melewati pertigaan sisi kanan alun-alun utara Kraton Yogyakarta, lalu berbelok ke kanan sampai di Pasar burung Ngasem. Memang terlalu percaya diri untuk melakukan perjalanan sore itu tanpa teman, peta, ataupun pengalaman sebelumnya, tapi keinginan untuk terus melaju serasa tak terbendung. Arah selatan pasar Ngasem, terdapat papan nama ‘Tamansari’ di sisi kanan tembok panjang mirip benteng. Saya tertarik untuk masuk dan melihat-lihat tempat yang merupakan salah satu kawasan wisata budaya Kota Yogyakarta ini.



Tamansari merupakan pesanggrahan Sultan Yogya dan keluarganya berupa taman kerajaan. Kesultanan Yogyakata memiliki beberapa pesanggrahan lain seperti Warungboto, Manukberi, Ambarbinangun dan Ambarukmo. Pesanggrahan tersebut berfungsi sebagai tempat tetirah, bersemadi, dan beristirahat Sultan dan keluarga. Pada jaman penjajahan, beberapa tempat bersejarah tersebut termasuk Tamansari berfungsi sebagai tempat pertahanan.
Tamansari berlokasi sekitar 0,5 km sebelah selatan Kraton Yogyakarta. Dibangun oleh arsitek berkebangsaan Portugis, sehingga beberapa ornamen bangunannya memiliki corak atau gaya Eropa. Meski demikian, beberapa symbol Jawa dan Islam tetap dipertahankan. Taman ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I pada akhir abad XVII M.
Beberapa bagian Tamansari beserta fungsi-fungsinya sebagai berikut.

1)Bagian Sakral
Bagian sakral Tamansari ditunjukkan dengan sebuah bangunan yang agak menyendiri. Ruangan ini berfungsi sebagai tempat pertapaan Sultan dan keluarganya.
2)Bagian Kolam Pemandian
Bagian ini terdiri dari tiga kolam yang dipisahkan oleh bangunan bertingkat. Dua diantaranya berada disebelah kanan bangunan yang dahulu digunakan oleh para selir dan putra-putri raja. Sedangkan satu kolam terletak disebelah kiri dahulu digunakan oleh raja dan salah satu selir yang terpilih. Bangunan bertingkat yang memisahkan keduanya terdiri dari dua tingkat. Di tingkat dua, terdapat jendela yang dahulu digunakan raja untuk mengamati para selir dan memilih salah satunya untuk mandi bersama beliau di kolam khusus. Air kolam keluar dari pancuran berbentuk binatang yang khas. Bangunan kolam ini di kelilingi pot-pot besar
3)Bagian Pulau Kenanga
Bagian ini terdiri dari Pulau Kenanga atau Pulau Cemeti, Sumur Gemuling, dan lorong-lorong bawah tanah.
Banguan yang disebut Pulau Kenanga atau Pulau Cemeti merupakan satu bangunan tinggi yang digunakan sebagai tempat beristirahat, sekaligus sebagai tempat pengintaian karena letaknya agak menjorok ke atas. Dahulu bangunan dikelilingi danau buatan yang difungsikan sebagai tempat bertahan dan mengatur strategi.
Sumur Gemuling berada di bawah tanah yang berbentuk melingkar seperti sebuah sumur. Terdapat beberapa ruangan yang dahulu berfungsi sebagai sebagai tempat sholat. Menurut keterangan pemandu wisata, bangunan ini dibuat melingkar agar suara imam sholat dapat terdengar sebagai pengganti pengeras suara. Ditengah-tengah ruangan terdapat lima buah tangga sebagai simbol lima rukun Islam.
Lorong-lorong konon berfungsi sebagai jalan rahasia yang menghubungkan Tamansari dengan Kraton Yogyakarta. Bahkan ada sumber yang menyebutkan bahwa lorong ini tembus ke pantai selatan sekaligus sebagai jalan bagi Sultan Yogyakarta untuk bertemu dengan Nyai Roro Kidul. Yang pasti, berdasarkan pemandu wisata yang saya sewa, lorong tersebut digunakan sebagai tempat pertahan keluarga kerajaan jika terjadi serangan mendadak.

Read more...

The Blessing Borobudur


Menjelang liburan semester pertama, saya dan tiga orang teman berinisiatif untuk mengunjungi salah satu situs budaya kebanggaan Bangsa Indonesia, Borobudur. Dari terminal Jombor Yogyakarta, kami berangkat menuju Magelang. Setelah 2.5 jam perjalanan, kami sampai dan sepakat menyewa 1 paket perjalanan andong seharga 75.000 dengan tujuan 3 candi sekaligus, yaitu candi Mendut, Pawon, dan Borobudur. Berikut ini
Candi Buddha yang megah ini terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, tepatnya kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Salah satu hasil penelitian budaya menyebutkan bahwa berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis, pendiri Borobudur adalah raja Samaratungga dari dinasti Syailendra, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, sekitar 824 M. Bangunan raksasa tersebut diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad.



dan beduhur dengan arti ’tinggi’

STRUKTUR BOROBUDUR
Candi Borobudur berbentuk 10 tingkat punden berundak dengan tinggi 34,5 meter, terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa Budha utama yang menghadap ke arah barat sebagai puncaknya. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Disebutkan dalam mahzab Budha Mahayana, setiap manusia yang ingin mencapai tingkat tertinggi sebagai Budha harus melalui setiap sepuluh tingkatan Bodhisattva. Maka tak heran jika, Candi Budha yang cantik ini menyimpan kekayaan peradaban manusia yang tersimpan abadi dalam 1460 relief dan 504 stupanya.
Bagian kaki atau dasar Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai nafsu rendah (kama). Sebagian besar bagian ini tertutup oleh tumpukan batu. Terdapat 120 bagian cerita Kammawibhangga.
Pada bagian ini, saya bersama salah seorang teman sempat mengambil gambar
Empat lantai di atasnya dinamakan Rupadhatu. Rupadhatu dilambangkan sebagai dunia yang dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Pada bagian seperti gambar disamping, patung-patung Buddha diletakkan ditempat terbuka yaitu di ceruk-c eruk dinding di atas ballustrade atau selasar.
Pada tiga tingkat di atasnya, Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang yang disebut Arupadhatu. Bagian ini melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan pula alam atas, ketika manusia terbebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, tapi belum mencapai nirwana atau surga. Meski berada di ketinggian dengan cuaca yang panas, kami sempat mengabadikan beberapa sudut bersejarah ini.
Bagian paling atas disebut Arupa yang tempat Budha bersemayam yaitu nirwana. Pada tingkat tertinggi ini digambarkan tiadanya wujud dengan stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa berbentuk polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga unfinished Buddha. Dalam gambar disamping, kami berempat berfoto tepat disisi stupa teratas dan terbesar sekaligus menandai ketangguhan kami mendaki Borobudur.
Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.
RELIEF
Di setiap tingkatan dipahat relief-relief yang dapat dibaca sesuai arah jarum jam (mapradaksina). Relief-relief yang berisi beragam cerita, diantaranya cerita jātaka tersebut dibaca mulai sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya. Sayang sekali hanya dua gambar relief diatas saja yang sempat kami abadikan.

TAHAP PEMUGARAN CANDI
Informasi tentang tahap pemugaran candi Borobudur dapat dibaca di papan informasi di pintu keluar kompleks utama candi. Gambar disamping adalah salah satu sisinya.

1814 – Seorang Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, Sir Thomas Stamford Raffles, mendengar informasi penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Lalu ia memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan yang berupa bukit bersemak.
1873 – Penerbitan pertama monografi candi.
1900 – Penetapan panitian pemugaran dan perawatan candi Borobudur oleh pemerintahan Hindia Belanda.
1907 – Theodoor van Erp dipercaya memimpin pemugaran hingga tahun 1911.
1926 – Pemugaran kembali candi Borobudur, namun krisis malaise dan PD II, proses tersebut terhenti pada 1940.
1956 – pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans dari Belgia untuk meneliti sebab kerusakan Borobudur.
1963 – Akibat kerusakan paska peristiwa G-30-S, dikeluarkan surat keputusan untuk memugar Borobudur oleh pemerintah Indonesia.
1968 – UNESCO memberi bantuan untuk menyelamatkan Borobudur dalam konferensi-15 di Perancis.
1971 – Pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.
1972 – UNESCO menyediakan 5 juta dolar Amerika Serikat sebagai biaya pemugaran.
10 Agustus 1973 – Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur yang selesai pada tahun 1984.
21 Januari 1985 – Akibat Serangan oleh kelompok Islam ekstrem pimpinan Habib Husein Ali Alhabsyi, terjadi kerusakan beberapa stupa.
1991 – Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO.

Tulisan diatas dirangkai berdasarkan pengamatan langsung dan beberapa situs berikut
Situs web resmi PT. Taman Wisata Candi
UNSECO: Informasi terperinci mengenai Candi Borobudur (format PDF)
Sebuah situs yang didedikasikan untuk Candi Borobudur secara khusus dan candi-candi lain di Jawa Tengah pada umumnya

Gambar-gambar diambil langsung dan adalah milik pribadi.

Read more...

Tentang Blog ini

Blog ini lahir karena motivasi penulis untuk mengabadikan beragam dokumentasi pribadi, baik berupa tulisan maupun gambar. Pengalaman pendidikan penulis di bidang bahasa dan budaya memberikan warna tersendiri dalam pemilihan tema, koleksi tautan, dan topikalisasi tulisan. Selamat Membaca dan Turut Memberi Warna

  © Blogger template Starry by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP