Tampilkan postingan dengan label Humaniora. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Humaniora. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Juli 2009

Teori Fungsionalisme Struktural (Sebuah Ulasan Singkat)

Talcott Parsons dan Teori Fungsionalisme Struktural
Tradisi pemikiran para fungsionalis barat mengenai teori fungsionalisme struktural berangkat dari analogi sistem biologi yang melihat jasad atau badan sebagai sebuah sistem. Karena merupakan sebuah sistem, badan terdiri dari kesatuan komponen-komponen pembentuk yang bekerjasama dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pemeliharaan diri. Berdasarkan analogi tersebut, para ahli mengamati masyarakat sebagai sebuah rangkaian komponen beserta fungsinya masing-masing yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Adalah Talcott Parson, seorang pakar sosiologi kelahiran Colorado pada tahun 1902, yang mengawali pengembangan teori fungsionalisme struktural. Publikasi spektakuler yang dimiliki Parson salah satunya adalah The Structure of Social Action (1937). Dari langkah awal inilah, Parson menelurkan teori tindakan yang menganggap tindakan manusia bersifat voluntary, intentional, dan symbolic.



Kemudian ia mengemukakan bahwa pada dasarnya suatu sistem tindakan umum terdiri dari tiga sistem yang saling berkaitan; sistem sosial, personalitas, dan kultural. Dari sistem sosial inilah, Parson melihat adanya struktur-struktur dalam masyarakat yang memiliki fungsi masing-masing. Dalam pengembangan ide tersebut, Parson banyak berkiblat pada hasil-hasil pemikiran pendahulunya, diantaranya Durkheim, Malinowski, Weber, dan Pareto.

Sistem Sosial
Sekali lagi, dapat digarisbawahi bahwa sistem sosial yang dirumuskan oleh Parsons dan beberapa sosiolog lainnya menekankan sifat interrelationship atau saling keterhubungan dan saling ketergantungan antar unsur-unsur struktural dalam kehidupan sosial. Dalam proses interaksi sosial anggota masyarakat melaksanakan hubungan timbal balik dengan cara menyesuaikan diri.
Sistem sosial terdiri atas aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi satu dengan yang lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat, kebiasaan atau norma yang berlaku.Sistem sosial ini bersifat nyata atau konkret. Beberapa sistem sosial yang ada dalam masyarakat adalah;
1) Sistem mata pencaharian
2) Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
3) Bahasa
4) Sistem kepercayaan
Ulasan mengenai sistem sosial merupakan pijakan dasar dalam memahami institusi sosial yang tumbuh dan berkembang dalam sistem masyarakat. Meskipun belum ditemukan istilah yang tepat untuk merefleksikan isi frase kata sosial institution¸ namun beberapa sosiolog di Indonesia sepakat untuk menggunakan kata institusi sosial atau lembaga kemasyarakatan untuk menggambarkannya.
Telah disinggung dalam bab sebelumnya bahwa institusi sosial merupakan sesuatu yang timbul akibat tindakan manusia yang memiliki kecenderungan untuk membentuk kelompok-kelompok atau koloni sesuai dengan latarbelakang sosial dan kebutuhan masing-masing. Agar ketertiban pelaksanaan kehidupan bermasyarakat antar kelompok-kelompok tersebut tercipta maka diperlukan tata aturan atau yang populer disebut dengan norma.

Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan
Dalam satu sistem kemasyarakatan dimana individu berkumpul, bertemu, dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan hidup, keberadaan seorang pemimpin menjadi suatu keniscayaan. Sebagaimana telah disinggung pada subbab sebelumnya bahwa kehidupan bermasyarakat di atur oleh norma atau tata tertib. Agar norma tersebut berjalan sesuatu aturan yang berlaku dan ditaati atau dilaksanakan oleh anggota masyarakat, maka diperlukan satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengadakan pengawasan dan tinjauan. Seyogyanya pula suatu lembaga masyarakat memiliki pemimpin yang memimpin pelaksanaan sistem operasional norma masyarakat.
Dalam disiplin ilmu sosiologi, kekuasaan tidak dipandang sebagai sesuatu yang baik dan buruk akan tetapi kekuasaan merupakan piranti atau unsur penting dalam masyarakat. Secara sederhana, kekuasaan digambarkan sebagai suatu kemampuan untuk memengaruhi orang lain. Kekuasan umumnya dijelmakan pada diri seseorang yang kemudian lazim disebut pemimpin.
Kekuasaan bersumber pada beberapa aspek kehidupan sosial dan diselaraskan dengan kegunaannya masing-masing, sebagaimana berikut: kekuasaan yang bersumber pada militerisme memiliki kegunaan sebagai pengendali kekerasa, yang bersumber pada ekonomi berguna untuk mengendalikan tanah, buruh, kekayaa, dan produksi, yang bersumber pada politik berguna untuk mengambil keputusan, yang bersumber pada hukum berguna untuk mempertahankan interaksi, yang bersumber pada tradisi berguna sebagai sistem kepercayaan, yang bersumber pada ideologi berguna sebagai pandangan hidup, dan yang bersumber dari diversionary power berguna untuk kepentingan rekreatif.
Sedikit berbeda dengan kekuasaan, wewenang merupakan suatu hak untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan, dan menyelesaikan permasalahan. Dari definisi tersebut, wewenang dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan, akan tetapi kekuasaan harus mendapatkan pengesahan dari masyarakat terlebih dahulu untuk dapat menjalankan kewenangan.
Menurut pandangan Max Weber terdapat 3 bentuk wewenang, yaitu:
- wewenang kharismatis : wewenang yang didasarkan pada suatu kemampuan khusus yang dimiliki seseorang (seringkali bersifat irasional),
- wewenang tradisional : wewenang yang dimiliki seseorang atau kelompok karena kekuasaan yang telah melembaga dan melebur dalam masyarakat.
- wewenang rasional : wewenang yang didasarkan pada sistem hukum yang berlaku.
Selain bentuk-bentuk wewenang menurut pemikiran Weber diatas, beberapa ahli juga merumuskan beberapa bentuk lainnya, akan tetapi hanya wewenang resmi dan tidak resmi sebagaimana dikemukakan oleh Robert A. Nisbet dalam The Social Bond, An Introduction to The Study of Society yang akan disinggung secara singkat oleh penulis karena hal ini berkaitan dengan sistem organisasi masyarakat yang diangkat sebagai tema sentral tulisan ini. Wewenang resmi bersifat sistematis dan rasional serta memiliki aturan tata tertib yang tegas dan tetap sedangkan wewenang tidak resmi diterapkan tidak sistematis tetapi cenderung spontan dan situasional. Wewenang tidak resmi dapat diamati dari sikap seorang bapak sebagai kepala rumah tangga.
Kekuasaan dan wewenang bermuara pada sistem kepemimpinan. Kepemimpinan yang bersifat resmi biasanya dijelmakan dalam suatu jabatan sehingga pelaksanaannya dilandaskan pada peraturan-peraturan resmi pula. Lain halnya dengan kepemimpinan tak resmi yang didasarkan pada pengakuan dan kepercayaan masyarakat, meskipun tetap harus berpedoman pada peraturan atau undang-undang yang berlaku.
Keberadaan pemimpin dalam suatu sistem masyarakat sangat diperlukan utamanya untuk mengatur pelaksanaan norma masyarakat agar tercipta interaksi sosial yang dinamis. Berdasarkan konsepsi masyarakat tradisional, seorang pemimpin harus memiliki sifat Ing ngarsa sung tulada (Di muka memberi teladan), Ing madya mangun karsa (Di tengah membangun semangat), dan Tut wuri handayani (Dari belakang memberi dorongan). Pengejewantahan dari konsepsi tersebut dimasa kini adalah bahwa pemimpin harus memiliki idealisme kuat, mewujudkan keinginan masyarakat, dan mengikuti perkembangan masyarakat. Berangkat dari prinsip tersebut, maka sistem kepemimpinan masyarakat disebut ”pamong praja/pamong desa” yang berarti membimbing masyarakat.
Soekanto juga merumuskan beberapa pola kepemimpinan diterapkan dalam masyarakat, yaitu melalui pola otoriter, demokratis, dan bebas. Pola-pola tersebut dilaksanakan sesuai dengan karakteristik masyarakatnya, misalnya pola atau cara demokratis diterapkan pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan pola otoriter biasanya diterapkan pada masyarakat heterogen.

Diambil dari beberapa sumber

Read more...

Sketsa Sejarah Islamisasi Sains

Wacana integrasi ilmu dan agama atau islamisasi sains sesungguhnya bukan konsep baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Istilah ini telah dikembangkan oleh para pemikir Islam yang secara geografis bersinggungan langsung dengan modernisasi sebagai produk ilmu pengetahuan barat, sehingga mereka melihat dan merasakan ketimpangan ilmu pengetahuan antara Timur dan Barat. Perlu diketahui sebelumnya bahwa pada kurun waktu terakhir pasca berkembangnya wacana The Clash of Civilization–nya Samuel Huntington, istilah Timur dan Barat mengalami penyempitan makna, yaitu Kristen/Yahudi dan Islam (Mujani, dkk. 2005: 65). Integrasi ilmu dan agama mulai diwacanakan oleh para intelektual muslim ketika mereka menyadari bahwa revitalisasi peradaban islam merupakan suatu kebutuhan. Sejak kelahirannya, ide islamisasi sains tidak sedikit menuai kontroversi mulai dari prosedur implementasi, visi-misi, bentuk realisasi, dll. Di satu sisi, proyek islamisasi sains memang visioner dan utopis. Tapi, di sisi lain, perlu pemahaman, telaah, dan kajian ulang agar proyek ini menghasilkan maha karya yang benar-benar orisinil dan efektif.



Kamus Ilmiah Populer yang disusun oleh Partanto dan Al-Barri memaknai istilah integrasi, ilmu dan agama secara parsial sebagai berikut. Integrasi berarti penggabungan, pemaduan atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh. Ilmu berarti pengetahuan. Agama berarti keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan (1994: 243, 264, 9). Islamisasi berarti usaha mengislamkan dunia dan sains berarti ilmu pengetahuan yang dipakai sebagai kata kolektif untuk menunjukkan bermacam-macam pengetahuan sistematis dan objektif serta dapat diteliti kebenarannya.
Potongan-potongan istilah di atas dapat dipahami bahwa integrasi ilmu dan agama berarti tidak berpandangan dikotomis terhadap ilmu dan agama, karena apabila ditelaah lebih dalam, “ilmu” dan “agama” merupakan entitas yang padu yang tidak dapat dipisahkan (Zainuddin. 2004: 18).
Memadu ilmu dan agama yang juga merupakan proses islamisasi sains secara epistemologis dipahami berbeda oleh beberapa penggagasnya, meski pun secara implisit tetap relevan antara satu dengan yang lainnya.
a. Sayyed Husain Nasser, seorang pemikir Amerika kelahiran Iran memaknai istilah islamisasi sains sebagai upaya menerjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat muslim di mana mereka tinggal.
b. Naquib al-Attas, pemikir muslim Malaysia kelahiran Indonesia berpendapat bahwa Islamisasi sains adalah upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi-ideologi, dan prinsip-prinsip sekuler sehingga tercipta ilmu pengetahuan baru yang sesuai dengna fitrah Islam.
c. Al-Faruqi, tokoh muslim kelahiran Palestina mendefinisikan islamisasi Sains dalam bahasa praktis, yaitu mengislamkan disiplin-disiplin ilmu dengan melakukan kajian-kajian kritis terhadap disiplin-disiplin ilmu tersebut kemudian memadukannya dengan sistem pengetahuan Islam dan menuangkan kembali disiplin ilmu modern yang berwawasan Islam.
d. Sardar mempertegas pengertian Islamisasi sains dengan tidak sekedar memadukan keilmuan Barat dan Islam akan tetapi lebih mengedepankan pengetahuan Islam dan pengetahuan Barat harus direlevansikan dengan pengetahuan Islam (Inovasi ed. 22, 2205: 13).
A.Khudori Sholeh dalam artikelnya yang berjudul Ide-ide tentang Islamisasi Ilmu (Inovasi ed. 22, 2005: 27) merangkum perkembangan ide-ide Islamisasi sains. Gagasan ini pertama kali disampaikan oleh Sayyid Husain Nasser pada tahun 1960-an ketika berbicara tentang dikotomi metodologi ilmu barat dan keislaman yang menurutnya terdapat kesamaan bahkan metodologi ilmu keislaman jauh lebih padu dengan menerapkan metodologi rasional, tekstual dan intuitif. Berbeda dengan ilmu Barat yang hanya memakai metodologi rasional saja. Pada tahun 1977, ide tersebut disempurnakan oleh Sayyid Naquib al-Attas lewat makalah yang berjudul Preliminaty Thought on the Nature of Knowledge and the Definition of Aims of Education yang disampaikan pada konferensi pendidikan Islam Dunia pertama di Makkah. Dalam buku Islam and Secularism (1978), al-Attas menegaskan bahwa proyek Islamisasi sains tidak hanya sebatas mempertemukan khasanah keilmuan Islam dan Barat akan tetapi perlu rekonstruksi ontologis dan epistemologis sebagai ciri sebuah keilmuan lahir. Pada tahun yang sama, gagasan Islamisasi sains dibahas secara lebih mendalam pada konferensi Internasional I di Swiss. Pada tahun 1981, pemikir muslim Amerika kelahiran Palestina, Ismael Raji al-Faruqi mendirikan The Internation of Islamic Thought (IIIT) sebagai pusat pengembangan proyek Islamisasi sains di Washington DC. Tahun 1983, konferensi internasional II di Islamabad, Pakistan menghasilkan beberapa pikiran pokok, yaitu:
a. mensosialisasikan hasil konferensi I dan rumusan yang dihasilkan IIIT tentang solusi atas krisis umat Islam.
b. mengupayakan suatu penelitian untuk mencari penyebab, gejala dan mengevaluasi krisis tersebut.
Tahun 1984, konferensi III di Kualalumpur, Malaysia membahas proyek Islamisasi sains secara teknis. Konferensi ini menghasilkan rencana pengembangan reformasi landasan berpikir umat Islam yang bersifat metodologis serta pengembangn skema Islamisasi masing-masing disiplin ilmu, seperti ekonomi, sosiologi, antropologi, politik, Hubungan Internasional dan filsafat. Tahun 1987, konferensi IV di Khortum, Sudan mengupas persoalan metodologi sebagai tantangan dan hambatan utama pelaksanaan proyek Islamisasi sains.
Meski demikian, tidak sedikit pemikir muslim yang tidak sepenuhnya sepakat terhadap gagasan integrasi ilmu dan agama. Usep Fakhruddin, cendekiawan muslim Indonesia mengklaim similarisasi atau ayatisasi terhadap produk pengetahuan sebagai salah satu upaya Islamisasi sains merupakan modus operandi dari pembajakan pengetahuan (Inovasi ed. 22, 2205: 19). Secara apriori, ayatisasi hanya akan memberi peluang kepada umat Islam untuk tidak berusaha menemukan inovasi baru. Ketika budaya ini berkembang maka Islam akan tetap menjadi penonton dan tersingkir dari kancah perkembangan ilmu pengetahuan di jagad raya. Oleh karena itu, sebagaimana setiap pengetahuan mempunyai asas atau landasan pemikiran sebagaimana srtuktur ilmu pengetahuan Barat memiliki asas sekulerisme, sisitem kerja Islamisasi sains perlu memerlukan Islamic world view sebagai landasan berpikir.

Sumber Acuan
INOVASI. Edisi 20. 2003. Unit Aktivitas Pers Mahasiswa UIN Malang.
_________ Edisi 22. 2005.Unit Aktivitas Pers Mahasiswa UIN Malang.
Zainuddin dkk. (editor). 2004. Memadu Sains dan Agama. Menuju Universitas Islam Masa Depan. UIN Malang Press: Malang

Read more...

Selayang Pandang Tentang Islamisasi Sains

Pengantar Amat Singkat

Sejarah telah mencatat tingkah pola manusia dalam kehidupan mereka. Catatan itu tidak saja memuat sketsa ekonomi, politik, militer, sosial, atau budaya, namun sketsa pengetahuan pun menjadi bagian penting dalam sejarah manusia. Pengetahuan secara pelan tapi pasti mencoba menyingkap segala problem manusia melalui para ilmuannya. Kelahiran revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial di Perancis dipercaya sebagai kelahiran kembali pengetahuan setelah berdiam dalam kekuasaan gereja.
Kembalinya pengetahuan dalam kancah peradaban manusia tentu membawa dampak yang tidak sederhana. Pengetahuan tidak saja menjadi alat utama dalam menjawab dan menyelesaikan problem-problem manusia, namun pengetahuan secara tidak langsung menumbangkan dominasi agama. Kemudian agama bersama dengan teks suci, ajaran, kebiasaan, maupun orang-orang sucinya tidak lagi menjadi kiblat bagi manusia.



Dalam masa keemasan pengetahuan tersebut banyak bermunculan ilmuan-ilmuan seperti Galileo yang merupakan ahli astronomi, Darwin dengan bukunya The Origin of Species, Freud yang termashur oleh teori psikoanalisisnya, dan masih banyak lagi. Perkembangan pesat pengetahuan membuat masyarakat dunia secara tidak sadar menuhankan pengetahuan. Agama yang telah lama dianut kemudian hanya menjadi pemanis bahkan kadang dianggap sebagai penghambat dalam usaha kemajuan peradaban manusia. Pada akhirnya pertentangan antara pengetahuan dan agama menjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan dan hal tersebut juga dirasakan oleh para intelektual islam sehingga digagaslah ide pengintegrasian agama dan pengetahuan yang kemudian lebih dekat dengan istilah islamisasi sains.
Islamisasi sains tidak hanya digagas guna memadukan pengetahuan dan agama, namun ia juga merupakan proyek membangun kembali peradaban islam yang runtuh akibat kekalahan islam dalam perang salib III dan kuatnya dominasi intelektual Barat yang menyebabkan stagnansi pemikiran orang-orang islam. Beberapa tokoh yang menggagas revivalisme peradaban islam melalui islamisasi sains antara lain; al-Faruqi, Sardar, al-Attas, dan masih banyak lagi. Dari tokoh-tokoh tersebut, tercetus ide untuk membingkai pengetahuan dalam perspektif islam dan munculah usaha guna mengintegrasikan agama dan pengetahuan. Islamisasi sains diharapkan dapat menghasilkan suatu sistem pengetahuan berbasis islam.
Sebenarnya ide islamisasi sains telah muncul sebagai gerakan kebangkitan islam sejak abad ke-15 Hijriyah dan untuk mendukung proyek tersebut dibentuk lembaga pemikiran islam yang berpusat di Washington DC tepatnya pada tahun 1981. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya. Islamisasi sains mulai diperkenalkan secara mendalam kepada masyarakat dunia.
Sejalan dengan berkembangnya ide islamisasi sains, Universitas Islam Negeri khususnya sebagai kepanjangan tangan dari pusat studi islam nasional maupun global berupaya untuk membingkai islamisasi sains dalam rangkain kegiatan akademis sebagaimana telah dituliskan oleh Rektor UIN Malang, Prof.Dr.H.Imam Suprayogo dalam buku Memadu Sains dan Agama, Menuju Universitas Islam Masa Depan (2004:xi) bahwa STAIN (yang sekarang UIN), selama ini tengah mengembangkan beberapa program studi sebagai upaya memajukan kajian islam dan ilmu modern.

Read more...

Persinggungan Agama dan Lingkungan

Al-Qur’an sebagai the way of life ratusan juta kaum muslim diberbagai belahan dunia memberikan petunjuk dalam berbagai persoalan hidup manusia. Kitab suci ini meletakkan dasar-dasar prinsipil, sedangkan Nabi Muhammad SAW bertugas memberikan keterangan lebih lengkap. Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa keistimewaan al-Qur’an tidak hanya berupa fleksibilitas yang membuat isi kitab suci ini dapat berlaku bagi umat manusia seluruhnya, akan tetapi juga kemampuannya memecahkan problem kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan baik rohani, jasmani, sosial, politik, humaniora, maupun politik. Oleh karena itu, sebagai sebuah sistem yang lengkap, al-Qur’an melalui agama Islam sebenarnya sejak awal telah memprediksi sekaligus menyediakan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi manusia termasuk persoalan lingkungan yang telah memasuki masa klimaks ini.
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan dalam menghadapi persoalan lingkungan sebagaimana terefleksi dalam beberapa ritual dasar seperti bersuci atau dalam Islam disebut taharah. Akan tetapi perbedaan pemahaman umat Islam khususnya tentang bersuci membuat hikmah yang terkandung didalamnya kurang tereksplorasi dengan maksimal. Oleh karena itu diperlukan kajian khusus tentang relevansi konsep bersuci terhadap penyelesaian persoalan lingkungan.



Berdasarkan pengantar singkat diatas, manusia seharusnya tidak memisahkan agama dalam upaya menumbuhkan sosial awareness atau kepedulian sosial terkait dengan persoalan lingkungan hidup. Karena manusia dan lingkungan memiliki keterkaitan yang sangat erat, maka Islam yang juga mempunyai komitmen kuat dalam mengarahkan manusia kearah yang lebih baik menawarkan langkah-langkah alternatif dalam mengatasi krisis lingkungan. Kajian lebih mendalam tentang ini akan dibahas pada bab selanjutnya.
Mengapa Islam turut membahas persoalan lingkungan? Jawaban yang paling sederhana namun mendasar adalah bahwa lingkungan dan manusia mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Lingkungan diciptakan untuk kepentingan manusia dan manusia hadir untuk membantu lingkungan tetap lestari. Al-Qur’an secara eksplisit menyatakan dalam surat al-Jaatsiyah ayat 13 bahwa ”Dan Allah telah menjadikan sumberdaya alam dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Yang demikian itu hanya ditangkap oleh orang-orang yang memiliki daya nalar memadai”. Simbiosis mutualisme tersebut sesunggguhnya berpotensi besar dalam upaya membangun peradaban dunia yang harmonis dan humanis. Akan tetapi agaknya idealisme ini perlu diaktualisasikan kembali, karena beberapa kurun waktu terakhir, dunia global menghadapi berbagai macam polemik lingkungan.
Meminjam pengertian ”melestarikan keseimbangan dan keserasian lingkungan hidup” oleh Otto Soemarwoto yaitu membuat lingkungan tetap tak berubah, tugas manusia tentu saja tidak mudah. Akan tetapi mengemban tugas menjaga keseimbangan lingkungan ini adalah dalam upaya memadukan kehidupan manusia dan lingkungan agar serasi dan saling memberi manfaat. Salim menegaskan bahwa sebuah ekosistem tercipta dari jaringan timbal balik antara manusia, segala benda, zat organisasi, dan kondisi lingkungan. Oleh karena itu manusia sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem lingkungan hidup seyogyanya ikut bertanggungjawab atas kelestarian alam yang juga menjadi sumber hidup manusia itu sendiri.
Untuk menyelesaikan polemik lingkungan hidup yang sedang dihadapi dunia global pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, perlu dicari akar persoalan yang jelas agar pola-pola penyelesaian yang akan ditempuh tepat dan efektif. Asumsi paling mendasar tentang penyebab timbulnya krisis lingkungan adalah ledakan populasi.
Ledakan populasi yang melanda Indonesia pasca Orde Baru ikut andil dalam memperburuk kualitas lingkungan hidup kita. Salim memperkuat asumsi tersebut dengan mengemukakan analisisnya tentang penyebab hancurnya keseimbangan lingkungan hidup yaitu perkembangan teknologi dan ledakan penduduk. Pertumbuhan populasi yang tidak terkendali dan pola pengorganisasiannya yang kurang berkualitas memunculkan persoalan pemenuhan tiga kebutuhan primer yaitu; sandang, pangan, dan papan. Dengan kata lain, ledakan populasi tidak hanya memunculkan masalah pertambahan penduduk yang tidak terkendali akan tetapi juga menyulut permasalahan-permasalahan lain yang terkait dengan kependudukan.
Masalah pemukiman merupakan salah satu produk ledakan populasi di Indonesia. Mari kita ambil masalah pemukiman dibantaran sungai Ciliwung sebagai salah satu contoh konkret. Masalah sosial yang kini melebar menjadi permasalahan lingkungan tersebut hingga kini belum ditemukan solusi yang efektif. Hal tersebut diklaim merupakan dampak dari ketidaksinambungan program yang diterapkan pemerintah dan kesadaran masyarakat yang minim tentang sisi negatif mendirikan bangunan dibantaran sungai. Meski akibat dari kerusakan ekosistem dibantaran sungai berupa banjir telah berkali-kali mengganggu tidak hanya kelancaran beraktivitas akan tetapi mengancam keselamatan jiwa, namun kesadaran untuk melakukan perubahan belum juga tampak. Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rahmat Witoelar dalam laporannya mengungkapkan bahwa terjadi kenaikan hampir tiga kali lipat jumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berstatus kritis dari tahun 1984 yang hanya berjumlah 22 sedangkan pada tahun 2005 mencapai 62 daerah.7 Selain itu, terdapat laporan bahwa setiap harinya, sungai Ciliwung menampung 1.400 M3 sampah padat. Hal ini berarti, terdapat 200 hingga 400 truk yang membuang sampah padat kesungai tersebut. Tentu saja aktivitas ini berpengaruh pada penyediaan air minum dan air bersih kepada masyarakat. Jadi dapat disimpulkan ledakan populasi tidak sekedar menyulut persoalan sosial akan tetapi juga kesehatan.
Jika masyarakat perkotaan menghadapi masalah pemukiman, maka masyarakat pedalaman menghadapi masalah ilegal logging atau penebangan hutan liar yang seringkali mengakibatkan banjir atau tanah longsor. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat perkotaan, kurangnya kesadaran kolektif serta lemahnya kontrol pemerintah menjadi penyebab utama kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi. Padahal Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki keanekaragaman hayati dan hewani cukup tinggi yaitu sekitar 1-5 juta spesies hidup di Indonesia. Prestasi alam ini seharusnya menjadi kebanggaan dan wujud dari kebanggaan tersebut adalah upaya-upaya konkret pelestarian kekayaan alam atau lingkungan yang tidak dimiliki negara lain.
Jika menilik berbagai penyebab dan dampak kerusakan lingkungan diatas, maka wajar bahkan menjadi suatu keharusan bagi bangsa Indonesia untuk menggalakkan berbagai upaya konservasi lingkungan. Sedikitnya ada dua motivasi yang melatarbelakangi konservasi lingkungan yang seringkali digagas pemerintah Indonesia adalah karena bangsa ini telah menghadapi masalah lingkungan yang cukup serius dan keharusan untuk mewariskan sumber alam yang sinambung kepada generasi selanjutnya. Apabila memperhatikan dua motivasi dasar diatas, tanggungjawab moral yang dibebankan kepada masyarakat Indonesia sangat berat. Sebagaimana Islam memposisikan manusia sebagai makhluk paling bermartabat, maka dengan dibekali akal pikiran, manusia dipercaya menjaga kesinambungan semesta alam deserta isinya serta secara spesifik mengemban tanggung jawab moral seperti disebutkan diatas.
Selaras dengan penjelasan diatas dan sebagaimana dijelaskan pada paragraf kedua bahwa agama membantu manusia mengemban tanggung jawab menjaga kesinambungan alam raya. Meski agama secara fundamental diasosiasikan sebagai sebuah sistem kepercayaan, akan tetapi tidak semata terlepas dari hal-hal yang bersifat praktis. Hampir setiap agama sedikit banyak memberikan tuntunan dalam kehidupan sehari-hari kepada penganutnya. Alam, meski selalu dikaitkan kepada hal-hal yang bersifat ilmiah tentu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Jadi pada dasarnya, agama dan alam adalah sesuatu yang sinergis dan satu.
Agama mengajarkan penganutnya berbuat kebaikan termasuk kepada alam. Dalam upaya konservasi lingkungan yang sedang digalakkan menyusul berbagai bencana alam akibat perilaku destruktif manusia, agaknya sangat relevan mengikutsertakan agama. Oleh karena itu tidak lengkap apabila kita mengkaji persoalan praktis berkaitan dengan konservasi lingkungan tanpa melihatnya dari prespektif agama khususnya agam Islam yang diyakini memuat ajaran paling lengkap dan sempurna tentang tuntunan hidup manusia.
Paparan singkat berupa fenomena kerusakan ekologi, eksploitasi alam, dan dampak negatifnya menggambarkan betapa pentingnya kajian ekologi yang diramu dengan kajian keislaman, meski tema ini telah sering dibahas oleh beberapa pakar, akan tetapi signifikansinya bagi perkembangan kehidupan umat manusia sangatlah tinggi. Oleh karena itu mengapa tidak memunculkan kembali wacana lama dengan harapan pembahasan yang semakin mendalam akan memunculkan titik terang dalam mengambil langkah peventif dalam proses konservasi alam.

Read more...

Pembaharuan Budaya yang Ramah Lingkungan

Kapitalisme dan Kerusakan lingkungan. Sebuah Fenomena
Evolusi jumlah manusia selalu berbanding lurus dengan evolusi sosio-kultural. Hipotesa tersebut diperkuat oleh fakta-fakta dilapangan. Mari kita analisis dari data statistik tentang pertumbuhan pendudukan di Indonesia mulai tahun 1950 hingga tahun 2000. Tahun 1950 sebanyak 79,2 juta jiwa, tahun 1960 sebanyak 95,2 juta jiwa, tahun 1970 sebanyak 121,1 juta jiwa, tahun 1980 sebanyak 150,6 juta jiwa, tahun 1990 sebanyak 190,9 juta jiwa, dan tahun 2000 sebanyak 241,2 juta jiwa. Kenaikan yang cukup fantastis. Ledakan populasi penduduk ini tentu saja mempunyai konsekuensi pada pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal. Logikanya, semakin banyak jumlah penduduk disuatu daerah, semakin luas ruang yang dibutuhkan untuk tempat tinggal. Begitupun, semakin tinggi angka kenaikan jumlah penduduk, semakin tinggi angka kebutuhan pangan. Jika kenaikan-kenaikan tersebut tidak diimbangi dengan pemeliharaan sumber-sumber daya alam penghasil pangan maupun penyedia tempat tinggal, maka sudah bisa diprediksi terjadi ketidakseimbangan dan ketimpangan lingkungan yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia.



Ketidakpedulian terhadap keseimbangan alam ini akan mengarah pada eksploitasi lingkungan yang seringkali tanpa sadar telah dilakukan oleh manusia. Kegiatan eksploitatif tersebut diantaranya untuk pemenuhan kompleksitas kebutuhan primer, pemenuhan kebutuhan sekunder, dan penggunaan sumberdaya alam sebagai energi.
Untuk meminimalisir ketidakseimbangan lingkungan yang terjadi dan menjaga kesinambungan sumberdaya-sumberdaya alam, secara sederhana, manusia dapat membatasi penggunaan barang-barang kemasan berbahan anorganik seperti mika, alumunium, dan besi, menjaga kebersihan aliran sungai agar siklus alam berlangsung normal, serta membatasi pemakaian benda-benda elektronik yang dapat merusak lapisan udara.
Pentingnya menjaga keseimbangan seperti dipaparkan diatas, merujuk pada satu fakta bahwa kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari alam. Oleh karena itu diperlukan toleransi tinggi antar keduanya agar kehidupan berlangsung harmonis. Toleransi ini berarti adanya hubungan timbal balik yang proporsional. Misalnya, jika suatu masyarakat membutuhkan ruang kosong untuk tempat tinggal sedangkan tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar, maka tepat apabila mereka memenuhi kebutuhan tersebut. Yang menjadi persoalan adalah tidak tersisanya ruang kosong untuk menjaga kesinambungan habitat tumbuh-tumbuhan. Padahal jika diamati manusia sangat bergantung pada tumbuh-tumbuhan sebagai penghasil udara segar. Disisi inilah tidak tercapainya harmonisasi hubungan manusia dan lingkungan.
Permasalahan sampah turut memberikan kontribusi negatif pada kualitas lingkungan. Meski Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah memberi contoh konkret penanganan masalah ini melalui Perda No. 11/1988 tentang Ketetiban Umum dan Perda No. 5/1988 tentang Kebersihan yang mengatur ketentuan denda bagi pembuang sampah disembarang tempat sebesar 20.000 hingga 25.000 rupiah, namun pada prakteknya belum bisa mengurangi ledakan sampah kota. Ada dua asumsi yang berkembang atas tidak efektifnya peraturan tesebut, pemerintah kurang tegas dalam menerapkan aturan tersebut dan aturan yang dibuat tidak mampu membuat pelanggar jera. Negara Malaysia memberlakukan denda untuk pelaggaran yang sama sebesar RM 500 atau 15 juta bagi pelanggar.
Permasalahan pemukiman, penebangan liar, dan sampah pada dasarnya bersumber dari pengembangan sektor ekonomi dan industri yang tidak terkontrol. Liberalisasi perdagangan, sebagai salah satu contoh, tidak memperhatikan biaya konservasi lingkungan karena peningkatan biaya produksi dan pengiriman barang, sehingga dampak produk dibebankan pada masyarakat. Prinsip-prinsip seperti ini diadopsi mentah-mentah dari prinsip kapitalisme barat yang berlandaskan atas semangat mengeluarkan biaya sekecil mungkin untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Sehingga manusia memandang siklus kehidupannya hanya berpusat pada proses mengambil (take) dan mengabaikan proses memberi (give).
Sejak abad 18, Adam Smith, seorang tokoh ekonomi, melukiskan manusia sebagai unsatisfied animal (hewan yang tidak penah puas) yang terus mengejar kemajuan. Hipotesa ini kemudian berkembang menjadi konsep kapitalisme. Komitmen manusia untuk mengembangkan diri ini tentu saja berdampak positif bagi perkembangan peradaban, akan tetapi rasa ketidakpuasan yang mendorong manusia untuk melakukan eksploitasi lingkungan yang berakhir pada kehancuran manusia itu sendiri. Pada akhirnya rasa ketidakpuasan yang dimiliki manusia mengarah pada satu titik kulminasi yang disebut aksioma kerakusan (the axiom of greed).
Jika 6000 tahun yang lalu, Mesopotamia, dilembah sungai Tigris dan Euphrates yang kini dikenal sebagai negara Iraq, mengalami masalah lingkungan untuk pertama kalinya bagi peradaban dunia, masyarakat global pada umumya dan Bangsa Indonesia khususnya merasa cemas dan menyadari pencemaran lingkungan baru pada tahun 1970an, meski pembangunan telah berlangsung ratusan tahun. Tidak dapat dipungkiri, pembangunan bagi peradaban manusia merupakan sebuah konsekuensi dari kemajuan pola pikir dan budaya. Sesungguhnya pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan hidup. Keduanya memiliki pola interaksi yang erat. Oleh karena itu, lingkungan seperti apa yang ingin diciptakan manusia sebenarnya bisa direkayasa oleh manusia itu sendiri.

Tindakan Preventif Pemerintah
Tanggung jawab pemerintah utamanya adalah mengarahkan pembangunan jangka panjang agar sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu pembinaan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila. Sedangkan masyarakat Pancasila adalah masyarakat yang menjalin keselarasan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Merujuk pada undang-undang tersebut, maka seyogyanya pemerintah membuat program-program yang berorientasi pada ketiga ciri masyarakat pancasila diatas. Pluralitas masyarakat Indonesia terkadang menjadi hambatan pencapaian sebuah masyarakat Pancasila. Sebagai satu contoh, konsep keselarasan manusia dan alam dapat dipahami secara berbeda antar satu komunitas dengan komunitas masyarakat yang lain. Sehingga proses konservasi lingkungan seringkali menemui kendala bahkan tak jarang justru menciptakan persoalan kultural yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya.
Sejak kemerdekaan yang dicetuskan pada 17 Agustus 1945, negara Indonesia telah mengalami beberapa pergantian pemerintahan. Setiap periode, pemerintah tidak pernah mengubah atau menghapus departemen lingkungan hidup meski setiap periode memiliki corak tersendiri yang terangkum dalam masing-masing program kerja. Departemen Lingkungan Hidup pada masa Orde Baru menggalakkan reboisasi atau penghijauan kembali. Seiring dengan pergeseran pembangunan yang berorientasi pada pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, maka yang menjadi perhatian pemerintah saat ini adalah penerapan teknologi yang tepat guna dan ramah lingkungan. Idealnya, konsep ini sangat mendukung proses konservasi lingkungan di Indonesia, namun pada prakteknya, konsep ini belum terlaksana secara maksimal. Pelaksanaan peraturan pemerintah terkait dengan konservasi lingkungan seringkali diboncengi kepentingan pribadi.
Pemerintah melalui pendidikan juga telah mengupayakan pengenalan konsep konsevasi lingkungan pada anak didik. Pendidikan berparadigma lingkungan, sebagai salah satu contoh, dirancang untuk membekali anak pemahaman dan ketrampilan praktis untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Sedikitnya ada 3 urgensi pengenalan anak pada lingkungan, bahwa kebersatuan manusia dengan alam, hukum alam sebagai sumber inovasi teknologi, dan kemampuan alam dalam menumbuhkan daya religiusitas. Lembaga pendidikan merupakan tempat yang efektif bagi proses sosialisasi program konservasi lingkungan. Apalagi dengan berbagai bencana yang telah menimpa Indonesia, anak didik akan mudah mencerna dan memahami dampak negatif kerusakan lingkungan.

Read more...

Aktualisasi Konsep Bersuci dan Upaya Membangun Peradaban Ramah Lingkungan

Pasca bencana-bencana alam yang menimpa negeri ini, Pemerintah Indonesia telah mengusahakan beberapa upaya altenatif baik melalui seminar, lokakarya, atau sosialisasi bertemakan konservasi lingkungan, akan tetapi belum terlihat suatu perubahan yang signifikan. Masyarakat masih memakai pola-pola hidup lama seperti mendirikan bangunan dibantaran-bantaran sungai. Padahal aktivitas tersebut berpotensi besar menghambat proses reboisasi. Maka, ketika jalur ilmiah tidak cukup untuk menumbuhkan kesadaran kolektif, maka diperlukan upaya lain. Dan upaya teologis nampaknya efektif mengingat kondisi masyarakat Indonesia saat ini sangat terikat pada kultur agama.
Partisipasi agama dalam proses konservasi lingkungan telah dimulai oleh negara-negara barat. Terbukti pada tahun 1992 di Washington DC, Join Appeal by Religion and Science for Environment digagas dan menghasilkan suatu kerjasama ilmuan dan agamawan dalam upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan dan membuat resolusi atas krisis lingkungan di bumi. Inisiatif memadukan sains dan agama tesebut tampaknya efektif dalam merespon krisis lingkungan. Negara Indonesia juga telah merintis perpaduan ilmuan dan agaman. Terbukti pada 18 Desember 1992, LIPI dan The World Bank menggelar konferensi bertajuk Conference on Religión and Conservation yang menghasilkan “Kebun Raya Charter” yang pada prakteknya akan melibatkan pemuka agama dalam menanggulangi krisis alam di Indonesia khususnya.22 Dari beberapa inisiatif baru diatas, nampaknya keikutsertaan agama dan pemuka agama memberi peluang baik dan pencerahan bagi proses konservasi lingkungan.



Keberhasilan-keberhasilan usaha tersebut mulai tampak terutama di negara-negara maju Eropa dan Amerika. Hasil tersebut berkat komitmen untuk bekerja keras demi selamatnya lingkungan dan konsistensi peraturan yang ditetapkan kepada masyarakat. Kini negara-negara maju tersebut menjadi kiblat program konservasi lingkungan.
Sebuah jargon yang seringkali kita dengar ”Islam adalah agama ramah lingkungan” agaknya mengalami dekonstruksi. Seyogyanya, sebuah jagon berfungsi sebagai tolak ukur keberhasilan sebuah konsep. Indonesia yang dihuni hampir 70% penduduk muslim dengan kemampuan pemahaman ajaran Islam yang beragam tentu menimbulkan polemik tersendiri. Masalah lingkungan telah menjadi pembahasan dalam kajian-kajian keislaman. Bagaimanapun juga Islam sebagai sebuah ideologi ikut bertanggungjawab membentuk karakter muslim yang membawa maslahat bagi kehidupan umat manusia.
Sejak zaman Rosululah SAW, Islam hadir sebagai agama yang selaras dengan alam. Beberapa ayat dan hadist mengungkap, merinci, dan membahas harmonisasi kehidupan manusia dengan alam. Ayat yang mendasari kewajiban manusia bertanggungjawab terhadap alam adalah surat Al-Baqoroh ayat 30, yang artinya ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”.23 Khalifah secara literal berarti ”pemimpin”. Allah menjadikan manusia pemimpin yang berfungsi sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi. Karena manusia dibekali akal dan nafsu, terjadi dekonstruksi pola pemahaman tentang tugas kekhalifahan. Sebagian besar manusia menginterpretasikan tugas kekhalifahan sebagai wahana mengeksploitasi alam walaupun sesungguhnya alam memang dianugrahkan untuk manusia. Oleh karena itu dalam surat Al-A’raaf ayat 56, Allah memberikan penegasan dan rambu-rambu dengan berfirman ”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadaNYA”.24 Dalam konteks konservasi alam, Ayat tersebut secara eksplisit melarang manusia melakukan segala tindakan yang menyebabkan ketidakseimbangan dan eksploitasi alam.
Dalam surat lain, sebenarnya al-Qur’an telah memprediksikan gejala kerusakan akibat tindakan manusia yang tidak bijaksana yaitu surat Lukman ayat 20 ”Tidakkah kau cermati bahwa Allah telah menjadikan sumberdaya alam dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupanmu secara optimum. Entah demikian, masih saja ada sebagian manusia yang mempertanyakan kekuasaan Allah secara sembrono yakni mempertanyakan tanpa alasan ilmiah, landasan etik, dan referensi yang memadai”.25
Prof. KH. Ali Yafie, mantan Rois A’am Nahdatul Ulama dan penggagas konsep fiqih lingkungan, merumuskan dua ajaran dasar, yaitu robbul’alamin dan rahmatan lil’alamin.26 Ajaran yang pertama memberi pemahaman bahwa Allah SWT satu-satunya tuhan semesta alam. Manusia, meski memiliki derajat lebih tinggi dari makhluk lain, tetap tidak mempunyai hak mutlak bersikap sewenang-wenang dimuka bumi, karena Allah telah menciptakan kekayaan alam untuk dinikmati manusia, maka manusia tidak hanya berhak menikmatinya saja akan tetapi juga berkewajiban menjaga kelestariannya. Ajaran kedua adalah rahmatan lil’alamin yang secara literal berarti membawa rahmat bagi alam semesta. Secara implisit, ajaran kedua tersebut memposisikan manusia sebagai representasi Allah dimuka bumi. Oleh karena itu, seyogyanya manusia mewarisi sifat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka idealnya implikasi dari sifat kasih sayang kepada alam, manusia tidak berperilaku destruktif. Dalam sebuah seminar bertemakan ”Kaderisasi Lingkungan Pesantren”, Drs. KH. Mahrus Amin, Pimpinan Pesantren Darunnajah Jakarta, mengutip salah satu sabda nabi Muhammad SAW bahwa ada tujuh amalan yang sangat mulia dan sangat dianjurkan Islam, diantaranya mengajarkan ilmu, menggali sumur, dan menanam pohon.27 Tuntunan Islam melalui Muhammad diatas menggambarkan keseriusan Islam dalam menangani masalah lingkungan. Sejak awal kemunculannya, Islam telah memprediksi gejala-gejala destruksi alam akibat aksioma kerakusan (Axiom of Greed) yang dimiliki manusia.
Sesungguhnya tuntunan ajaran Islam memberi penekanan pada pelaksanaan hal-hal yang bersifat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dalam koteks konservasi lingkungan, sejak awal telah Islam memperkenal beberapa konsep dasar yang apabila dilaksanakan secara sempurna maka akan berdampak positif dalam lingkup kehidupan yang lebih luas. Salah satunya adalah konsep bersuci. Konsep ini menekankan kesucian dan kebersihan jiwa dan raga setiap individu. Secara sederhana, kebersihan dan kesucian jasmani berkaitan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah seperti badan, pakaian, tempat, dan alat-alat yang digunakan sehari-hari. Sedangkan kebersihan dan kesucian rohani berarti terbebas dari perbuatan yang menyebabkan seseorang terkena hukum kotor (Najis). Dalam Islam, perbuatan tersebut disebut hadas.
Landasan hukum bersuci adalah surat al-Muddassir ayat 4 yang berarti ”Dan bersihkanlah pakaianmu”. Dan surat al-Baqarah ayat 222 yang bearti ”Sungguh, Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”.28 Secara eksplisit tuntunan Islam tersebut hanya mengkaji sesuatu dalam lingkup sempit, akan tetapi apabila hal sederhana ini mampu diimplementasikan secara kontinyu maka akan mempengaruhi pila pikir dan budaya hidup seseorang. Jika seseorang telah menjaga badan, pakaian, dan tempatnya dari hal-hal najis atau kotor, maka dengan sendirinya ia akan peka terhadap ketimpangan-ketimpangan hal-hal yang lebih besar khususya dalam konteks konservasi alam.
Tuntunan bersuci dalam Islam mengandung hikmah atau pelajaran yang besar, diantaranya; mendidik manusia senantiasa hidup bersih dan menjaga kebersihan berarti menjaga diri dari penyakit, mendidik manusia utuk berakhlak mulia sehingga meningkatkan citra diri dan kualitas hidup, dan menjadi sarana membangun mental spiritual yang tinggi.29 Konsep ini sangat relevan untuk mengatasi krisis lingkungan karena yang tidak dimiliki oleh masyaakat kita adalah tradisi hidup selaras dengan alam. Sehingga hal mendasar yang harus dilakukan dalam proses konservasi lingkungan adalah menumbuhkan dan menanamkan pola hidup bersih. Selain itu, kondisi sosio-kultur masyarakat pasca reformasi yang mengalami krisis kepercayaan kepada pemerintah mengakibatkan terhambatnya proses sosialisasi dan implementasi program-program konservasi lingkungan oleh pemerintah. Maka, jalur teologis dengan melibatkan pemuka agama yang ditempuh dalam upaya rekonstruksi kerusakan lingkungan di Indonesia dirasa efektif. Apalagi di daerah-daerah berbasis Islam seperti sebagian besar pulau Jawa, Aceh, sebagian besar pulau Sumatera, dan sebagainya, karena ajaran Islam sangat erat kaitannya dengan pendekatan Islami, sehingga pendekatan Islami menjadi sangat urgen untuk dilaksanakan.30

Simpulan
Sejatinya, Islam kaya akan khazanah keilmuan, akan tetapi pola pikir pemeluknya-lah yang terkadang menghambat proses aktualisasi intisari ajaran-ajaran Islam.
Islam sebagai sebuah budaya seharusnya mampu memberi corak yang khas yang tentu saja sesuai dengan sumber ajaran dasar yaitu al-Qur’an. Begitupun dalam merespon tuntutan dan tantangan zaman. Berbagai persoalan pelik muncul akibat ketidaktepatan manusia menggunakan otoritasnya sebagai makhluk yang paling bermartabat dimuka bumi. Sehingga yang muncul bukanlah keistimewaan humanis akan tetapi lahir aksioma-aksioma kerakusan. Maka Islam sangat relevan untuk diaktualisasikan kembali, khusunya dalam upaya rekonstruksi budaya ramah lingkungan.

Endnotes
1 Shihab, M. Quraish. 2004. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka, hal. 33
2 Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2004. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarta: Litera AntarNusa, hal. 14
3 Al-Qur’an. Damaskus: Darul Basyair, hal. 499
4 Soemarwoto, Otto. 2005. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan:Jakarta, hal. 77
5 Salim, Emil. 1979.Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Mutiara Sumber Widya:Jakarta Pusat
6 Ibid. Hal.
7 http://www.Hidayatullah.com. Diakses pada tanggal 20 April 2007

8 http://www.Hidayatullah.com. Diakses pada tanggal 20 April 2007

9 Kuswartojo, Thuk, dkk. 2005. Perumahan dan Pemukiman di Indonesia. ITB:Bandung, hal. 71-72
10 Salim, Emil. 1979.Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Mutiara Sumber Widya:Jakarta Pusat, hal. 23-25
11 Prawiro, Ruslan H. 1988. Ekologi Lingkungan Pencemaran. Satya Wacana:Semarang
12 Ibid. hal. 28
13 Ibid. hal. 29-30
14 Kaban&Whitten. 2006. Liberalisasi Perdagangan dan Krisis Lingkungan. hal. 277
15 Kaban&Whitten. 2006. Liberalisasi Perdagangan dan Krisis Lingkungan. hal. 123
16 Rosidi, Sakban. 2002. The History of Modern Thought. CISC: Malang, hal. 43
17 Ibid
18 Salim, Emil. 1979.Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Mutiara Sumber Widya:Jakarta Pusat, hal. 12
19 Soemarwoto, Otto. 2005. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan:Jakarta, hal. 158
20 Salim, Emil. 1979.Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Mutiara Sumber Widya:Jakarta Pusat, hal. 37-38
21 Kaban&Whitten. 2006. Liberalisasi Perdagangan dan Krisis Lingkungan. hal. 247
22 Kaban&Whitten. 2006. Liberalisasi Perdagangan dan Krisis Lingkungan. hal. 279-280
23 Al-Qur’an. Damaskus: Darul Basyair, hal. 6
24 Al-Qur’an. Damaskus: Darul Basyair, hal. 157
25 Al-Qur’an. Damaskus: Darul Basyair, hal. 413
26 http://www.Hidayatullah.com. Diakses pada tanggal 20 April 2007

27 http://islamlib.com. Diakses pada 20 April 2007

28 Rokhman, Rolly Abdul. Wahyuni, Yayuk Sri. 2005. Fikih. Madrasah Development Center. Kanwil Departemen Agama Provinsi Jawa Timur: Surabaya, hal. 2
29 Ibid
30 http://muslimhands.com. Diakses pada 20 April 2007

Read more...

Tentang Blog ini

Blog ini lahir karena motivasi penulis untuk mengabadikan beragam dokumentasi pribadi, baik berupa tulisan maupun gambar. Pengalaman pendidikan penulis di bidang bahasa dan budaya memberikan warna tersendiri dalam pemilihan tema, koleksi tautan, dan topikalisasi tulisan. Selamat Membaca dan Turut Memberi Warna

  © Blogger template Starry by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP