Senin, 20 Juli 2009

Teori Fungsionalisme Struktural (Sebuah Ulasan Singkat)

Talcott Parsons dan Teori Fungsionalisme Struktural
Tradisi pemikiran para fungsionalis barat mengenai teori fungsionalisme struktural berangkat dari analogi sistem biologi yang melihat jasad atau badan sebagai sebuah sistem. Karena merupakan sebuah sistem, badan terdiri dari kesatuan komponen-komponen pembentuk yang bekerjasama dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pemeliharaan diri. Berdasarkan analogi tersebut, para ahli mengamati masyarakat sebagai sebuah rangkaian komponen beserta fungsinya masing-masing yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Adalah Talcott Parson, seorang pakar sosiologi kelahiran Colorado pada tahun 1902, yang mengawali pengembangan teori fungsionalisme struktural. Publikasi spektakuler yang dimiliki Parson salah satunya adalah The Structure of Social Action (1937). Dari langkah awal inilah, Parson menelurkan teori tindakan yang menganggap tindakan manusia bersifat voluntary, intentional, dan symbolic.



Kemudian ia mengemukakan bahwa pada dasarnya suatu sistem tindakan umum terdiri dari tiga sistem yang saling berkaitan; sistem sosial, personalitas, dan kultural. Dari sistem sosial inilah, Parson melihat adanya struktur-struktur dalam masyarakat yang memiliki fungsi masing-masing. Dalam pengembangan ide tersebut, Parson banyak berkiblat pada hasil-hasil pemikiran pendahulunya, diantaranya Durkheim, Malinowski, Weber, dan Pareto.

Sistem Sosial
Sekali lagi, dapat digarisbawahi bahwa sistem sosial yang dirumuskan oleh Parsons dan beberapa sosiolog lainnya menekankan sifat interrelationship atau saling keterhubungan dan saling ketergantungan antar unsur-unsur struktural dalam kehidupan sosial. Dalam proses interaksi sosial anggota masyarakat melaksanakan hubungan timbal balik dengan cara menyesuaikan diri.
Sistem sosial terdiri atas aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi satu dengan yang lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat, kebiasaan atau norma yang berlaku.Sistem sosial ini bersifat nyata atau konkret. Beberapa sistem sosial yang ada dalam masyarakat adalah;
1) Sistem mata pencaharian
2) Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
3) Bahasa
4) Sistem kepercayaan
Ulasan mengenai sistem sosial merupakan pijakan dasar dalam memahami institusi sosial yang tumbuh dan berkembang dalam sistem masyarakat. Meskipun belum ditemukan istilah yang tepat untuk merefleksikan isi frase kata sosial institution¸ namun beberapa sosiolog di Indonesia sepakat untuk menggunakan kata institusi sosial atau lembaga kemasyarakatan untuk menggambarkannya.
Telah disinggung dalam bab sebelumnya bahwa institusi sosial merupakan sesuatu yang timbul akibat tindakan manusia yang memiliki kecenderungan untuk membentuk kelompok-kelompok atau koloni sesuai dengan latarbelakang sosial dan kebutuhan masing-masing. Agar ketertiban pelaksanaan kehidupan bermasyarakat antar kelompok-kelompok tersebut tercipta maka diperlukan tata aturan atau yang populer disebut dengan norma.

Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan
Dalam satu sistem kemasyarakatan dimana individu berkumpul, bertemu, dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan hidup, keberadaan seorang pemimpin menjadi suatu keniscayaan. Sebagaimana telah disinggung pada subbab sebelumnya bahwa kehidupan bermasyarakat di atur oleh norma atau tata tertib. Agar norma tersebut berjalan sesuatu aturan yang berlaku dan ditaati atau dilaksanakan oleh anggota masyarakat, maka diperlukan satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengadakan pengawasan dan tinjauan. Seyogyanya pula suatu lembaga masyarakat memiliki pemimpin yang memimpin pelaksanaan sistem operasional norma masyarakat.
Dalam disiplin ilmu sosiologi, kekuasaan tidak dipandang sebagai sesuatu yang baik dan buruk akan tetapi kekuasaan merupakan piranti atau unsur penting dalam masyarakat. Secara sederhana, kekuasaan digambarkan sebagai suatu kemampuan untuk memengaruhi orang lain. Kekuasan umumnya dijelmakan pada diri seseorang yang kemudian lazim disebut pemimpin.
Kekuasaan bersumber pada beberapa aspek kehidupan sosial dan diselaraskan dengan kegunaannya masing-masing, sebagaimana berikut: kekuasaan yang bersumber pada militerisme memiliki kegunaan sebagai pengendali kekerasa, yang bersumber pada ekonomi berguna untuk mengendalikan tanah, buruh, kekayaa, dan produksi, yang bersumber pada politik berguna untuk mengambil keputusan, yang bersumber pada hukum berguna untuk mempertahankan interaksi, yang bersumber pada tradisi berguna sebagai sistem kepercayaan, yang bersumber pada ideologi berguna sebagai pandangan hidup, dan yang bersumber dari diversionary power berguna untuk kepentingan rekreatif.
Sedikit berbeda dengan kekuasaan, wewenang merupakan suatu hak untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan, dan menyelesaikan permasalahan. Dari definisi tersebut, wewenang dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan, akan tetapi kekuasaan harus mendapatkan pengesahan dari masyarakat terlebih dahulu untuk dapat menjalankan kewenangan.
Menurut pandangan Max Weber terdapat 3 bentuk wewenang, yaitu:
- wewenang kharismatis : wewenang yang didasarkan pada suatu kemampuan khusus yang dimiliki seseorang (seringkali bersifat irasional),
- wewenang tradisional : wewenang yang dimiliki seseorang atau kelompok karena kekuasaan yang telah melembaga dan melebur dalam masyarakat.
- wewenang rasional : wewenang yang didasarkan pada sistem hukum yang berlaku.
Selain bentuk-bentuk wewenang menurut pemikiran Weber diatas, beberapa ahli juga merumuskan beberapa bentuk lainnya, akan tetapi hanya wewenang resmi dan tidak resmi sebagaimana dikemukakan oleh Robert A. Nisbet dalam The Social Bond, An Introduction to The Study of Society yang akan disinggung secara singkat oleh penulis karena hal ini berkaitan dengan sistem organisasi masyarakat yang diangkat sebagai tema sentral tulisan ini. Wewenang resmi bersifat sistematis dan rasional serta memiliki aturan tata tertib yang tegas dan tetap sedangkan wewenang tidak resmi diterapkan tidak sistematis tetapi cenderung spontan dan situasional. Wewenang tidak resmi dapat diamati dari sikap seorang bapak sebagai kepala rumah tangga.
Kekuasaan dan wewenang bermuara pada sistem kepemimpinan. Kepemimpinan yang bersifat resmi biasanya dijelmakan dalam suatu jabatan sehingga pelaksanaannya dilandaskan pada peraturan-peraturan resmi pula. Lain halnya dengan kepemimpinan tak resmi yang didasarkan pada pengakuan dan kepercayaan masyarakat, meskipun tetap harus berpedoman pada peraturan atau undang-undang yang berlaku.
Keberadaan pemimpin dalam suatu sistem masyarakat sangat diperlukan utamanya untuk mengatur pelaksanaan norma masyarakat agar tercipta interaksi sosial yang dinamis. Berdasarkan konsepsi masyarakat tradisional, seorang pemimpin harus memiliki sifat Ing ngarsa sung tulada (Di muka memberi teladan), Ing madya mangun karsa (Di tengah membangun semangat), dan Tut wuri handayani (Dari belakang memberi dorongan). Pengejewantahan dari konsepsi tersebut dimasa kini adalah bahwa pemimpin harus memiliki idealisme kuat, mewujudkan keinginan masyarakat, dan mengikuti perkembangan masyarakat. Berangkat dari prinsip tersebut, maka sistem kepemimpinan masyarakat disebut ”pamong praja/pamong desa” yang berarti membimbing masyarakat.
Soekanto juga merumuskan beberapa pola kepemimpinan diterapkan dalam masyarakat, yaitu melalui pola otoriter, demokratis, dan bebas. Pola-pola tersebut dilaksanakan sesuai dengan karakteristik masyarakatnya, misalnya pola atau cara demokratis diterapkan pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan pola otoriter biasanya diterapkan pada masyarakat heterogen.

Diambil dari beberapa sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Blog ini

Blog ini lahir karena motivasi penulis untuk mengabadikan beragam dokumentasi pribadi, baik berupa tulisan maupun gambar. Pengalaman pendidikan penulis di bidang bahasa dan budaya memberikan warna tersendiri dalam pemilihan tema, koleksi tautan, dan topikalisasi tulisan. Selamat Membaca dan Turut Memberi Warna

  © Blogger template Starry by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP