Senin, 20 Juli 2009

Aktualisasi Konsep Bersuci dan Upaya Membangun Peradaban Ramah Lingkungan

Pasca bencana-bencana alam yang menimpa negeri ini, Pemerintah Indonesia telah mengusahakan beberapa upaya altenatif baik melalui seminar, lokakarya, atau sosialisasi bertemakan konservasi lingkungan, akan tetapi belum terlihat suatu perubahan yang signifikan. Masyarakat masih memakai pola-pola hidup lama seperti mendirikan bangunan dibantaran-bantaran sungai. Padahal aktivitas tersebut berpotensi besar menghambat proses reboisasi. Maka, ketika jalur ilmiah tidak cukup untuk menumbuhkan kesadaran kolektif, maka diperlukan upaya lain. Dan upaya teologis nampaknya efektif mengingat kondisi masyarakat Indonesia saat ini sangat terikat pada kultur agama.
Partisipasi agama dalam proses konservasi lingkungan telah dimulai oleh negara-negara barat. Terbukti pada tahun 1992 di Washington DC, Join Appeal by Religion and Science for Environment digagas dan menghasilkan suatu kerjasama ilmuan dan agamawan dalam upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan dan membuat resolusi atas krisis lingkungan di bumi. Inisiatif memadukan sains dan agama tesebut tampaknya efektif dalam merespon krisis lingkungan. Negara Indonesia juga telah merintis perpaduan ilmuan dan agaman. Terbukti pada 18 Desember 1992, LIPI dan The World Bank menggelar konferensi bertajuk Conference on ReligiĆ³n and Conservation yang menghasilkan “Kebun Raya Charter” yang pada prakteknya akan melibatkan pemuka agama dalam menanggulangi krisis alam di Indonesia khususnya.22 Dari beberapa inisiatif baru diatas, nampaknya keikutsertaan agama dan pemuka agama memberi peluang baik dan pencerahan bagi proses konservasi lingkungan.



Keberhasilan-keberhasilan usaha tersebut mulai tampak terutama di negara-negara maju Eropa dan Amerika. Hasil tersebut berkat komitmen untuk bekerja keras demi selamatnya lingkungan dan konsistensi peraturan yang ditetapkan kepada masyarakat. Kini negara-negara maju tersebut menjadi kiblat program konservasi lingkungan.
Sebuah jargon yang seringkali kita dengar ”Islam adalah agama ramah lingkungan” agaknya mengalami dekonstruksi. Seyogyanya, sebuah jagon berfungsi sebagai tolak ukur keberhasilan sebuah konsep. Indonesia yang dihuni hampir 70% penduduk muslim dengan kemampuan pemahaman ajaran Islam yang beragam tentu menimbulkan polemik tersendiri. Masalah lingkungan telah menjadi pembahasan dalam kajian-kajian keislaman. Bagaimanapun juga Islam sebagai sebuah ideologi ikut bertanggungjawab membentuk karakter muslim yang membawa maslahat bagi kehidupan umat manusia.
Sejak zaman Rosululah SAW, Islam hadir sebagai agama yang selaras dengan alam. Beberapa ayat dan hadist mengungkap, merinci, dan membahas harmonisasi kehidupan manusia dengan alam. Ayat yang mendasari kewajiban manusia bertanggungjawab terhadap alam adalah surat Al-Baqoroh ayat 30, yang artinya ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”.23 Khalifah secara literal berarti ”pemimpin”. Allah menjadikan manusia pemimpin yang berfungsi sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi. Karena manusia dibekali akal dan nafsu, terjadi dekonstruksi pola pemahaman tentang tugas kekhalifahan. Sebagian besar manusia menginterpretasikan tugas kekhalifahan sebagai wahana mengeksploitasi alam walaupun sesungguhnya alam memang dianugrahkan untuk manusia. Oleh karena itu dalam surat Al-A’raaf ayat 56, Allah memberikan penegasan dan rambu-rambu dengan berfirman ”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadaNYA”.24 Dalam konteks konservasi alam, Ayat tersebut secara eksplisit melarang manusia melakukan segala tindakan yang menyebabkan ketidakseimbangan dan eksploitasi alam.
Dalam surat lain, sebenarnya al-Qur’an telah memprediksikan gejala kerusakan akibat tindakan manusia yang tidak bijaksana yaitu surat Lukman ayat 20 ”Tidakkah kau cermati bahwa Allah telah menjadikan sumberdaya alam dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupanmu secara optimum. Entah demikian, masih saja ada sebagian manusia yang mempertanyakan kekuasaan Allah secara sembrono yakni mempertanyakan tanpa alasan ilmiah, landasan etik, dan referensi yang memadai”.25
Prof. KH. Ali Yafie, mantan Rois A’am Nahdatul Ulama dan penggagas konsep fiqih lingkungan, merumuskan dua ajaran dasar, yaitu robbul’alamin dan rahmatan lil’alamin.26 Ajaran yang pertama memberi pemahaman bahwa Allah SWT satu-satunya tuhan semesta alam. Manusia, meski memiliki derajat lebih tinggi dari makhluk lain, tetap tidak mempunyai hak mutlak bersikap sewenang-wenang dimuka bumi, karena Allah telah menciptakan kekayaan alam untuk dinikmati manusia, maka manusia tidak hanya berhak menikmatinya saja akan tetapi juga berkewajiban menjaga kelestariannya. Ajaran kedua adalah rahmatan lil’alamin yang secara literal berarti membawa rahmat bagi alam semesta. Secara implisit, ajaran kedua tersebut memposisikan manusia sebagai representasi Allah dimuka bumi. Oleh karena itu, seyogyanya manusia mewarisi sifat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka idealnya implikasi dari sifat kasih sayang kepada alam, manusia tidak berperilaku destruktif. Dalam sebuah seminar bertemakan ”Kaderisasi Lingkungan Pesantren”, Drs. KH. Mahrus Amin, Pimpinan Pesantren Darunnajah Jakarta, mengutip salah satu sabda nabi Muhammad SAW bahwa ada tujuh amalan yang sangat mulia dan sangat dianjurkan Islam, diantaranya mengajarkan ilmu, menggali sumur, dan menanam pohon.27 Tuntunan Islam melalui Muhammad diatas menggambarkan keseriusan Islam dalam menangani masalah lingkungan. Sejak awal kemunculannya, Islam telah memprediksi gejala-gejala destruksi alam akibat aksioma kerakusan (Axiom of Greed) yang dimiliki manusia.
Sesungguhnya tuntunan ajaran Islam memberi penekanan pada pelaksanaan hal-hal yang bersifat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dalam koteks konservasi lingkungan, sejak awal telah Islam memperkenal beberapa konsep dasar yang apabila dilaksanakan secara sempurna maka akan berdampak positif dalam lingkup kehidupan yang lebih luas. Salah satunya adalah konsep bersuci. Konsep ini menekankan kesucian dan kebersihan jiwa dan raga setiap individu. Secara sederhana, kebersihan dan kesucian jasmani berkaitan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah seperti badan, pakaian, tempat, dan alat-alat yang digunakan sehari-hari. Sedangkan kebersihan dan kesucian rohani berarti terbebas dari perbuatan yang menyebabkan seseorang terkena hukum kotor (Najis). Dalam Islam, perbuatan tersebut disebut hadas.
Landasan hukum bersuci adalah surat al-Muddassir ayat 4 yang berarti ”Dan bersihkanlah pakaianmu”. Dan surat al-Baqarah ayat 222 yang bearti ”Sungguh, Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”.28 Secara eksplisit tuntunan Islam tersebut hanya mengkaji sesuatu dalam lingkup sempit, akan tetapi apabila hal sederhana ini mampu diimplementasikan secara kontinyu maka akan mempengaruhi pila pikir dan budaya hidup seseorang. Jika seseorang telah menjaga badan, pakaian, dan tempatnya dari hal-hal najis atau kotor, maka dengan sendirinya ia akan peka terhadap ketimpangan-ketimpangan hal-hal yang lebih besar khususya dalam konteks konservasi alam.
Tuntunan bersuci dalam Islam mengandung hikmah atau pelajaran yang besar, diantaranya; mendidik manusia senantiasa hidup bersih dan menjaga kebersihan berarti menjaga diri dari penyakit, mendidik manusia utuk berakhlak mulia sehingga meningkatkan citra diri dan kualitas hidup, dan menjadi sarana membangun mental spiritual yang tinggi.29 Konsep ini sangat relevan untuk mengatasi krisis lingkungan karena yang tidak dimiliki oleh masyaakat kita adalah tradisi hidup selaras dengan alam. Sehingga hal mendasar yang harus dilakukan dalam proses konservasi lingkungan adalah menumbuhkan dan menanamkan pola hidup bersih. Selain itu, kondisi sosio-kultur masyarakat pasca reformasi yang mengalami krisis kepercayaan kepada pemerintah mengakibatkan terhambatnya proses sosialisasi dan implementasi program-program konservasi lingkungan oleh pemerintah. Maka, jalur teologis dengan melibatkan pemuka agama yang ditempuh dalam upaya rekonstruksi kerusakan lingkungan di Indonesia dirasa efektif. Apalagi di daerah-daerah berbasis Islam seperti sebagian besar pulau Jawa, Aceh, sebagian besar pulau Sumatera, dan sebagainya, karena ajaran Islam sangat erat kaitannya dengan pendekatan Islami, sehingga pendekatan Islami menjadi sangat urgen untuk dilaksanakan.30

Simpulan
Sejatinya, Islam kaya akan khazanah keilmuan, akan tetapi pola pikir pemeluknya-lah yang terkadang menghambat proses aktualisasi intisari ajaran-ajaran Islam.
Islam sebagai sebuah budaya seharusnya mampu memberi corak yang khas yang tentu saja sesuai dengan sumber ajaran dasar yaitu al-Qur’an. Begitupun dalam merespon tuntutan dan tantangan zaman. Berbagai persoalan pelik muncul akibat ketidaktepatan manusia menggunakan otoritasnya sebagai makhluk yang paling bermartabat dimuka bumi. Sehingga yang muncul bukanlah keistimewaan humanis akan tetapi lahir aksioma-aksioma kerakusan. Maka Islam sangat relevan untuk diaktualisasikan kembali, khusunya dalam upaya rekonstruksi budaya ramah lingkungan.

Endnotes
1 Shihab, M. Quraish. 2004. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka, hal. 33
2 Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2004. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarta: Litera AntarNusa, hal. 14
3 Al-Qur’an. Damaskus: Darul Basyair, hal. 499
4 Soemarwoto, Otto. 2005. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan:Jakarta, hal. 77
5 Salim, Emil. 1979.Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Mutiara Sumber Widya:Jakarta Pusat
6 Ibid. Hal.
7 http://www.Hidayatullah.com. Diakses pada tanggal 20 April 2007

8 http://www.Hidayatullah.com. Diakses pada tanggal 20 April 2007

9 Kuswartojo, Thuk, dkk. 2005. Perumahan dan Pemukiman di Indonesia. ITB:Bandung, hal. 71-72
10 Salim, Emil. 1979.Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Mutiara Sumber Widya:Jakarta Pusat, hal. 23-25
11 Prawiro, Ruslan H. 1988. Ekologi Lingkungan Pencemaran. Satya Wacana:Semarang
12 Ibid. hal. 28
13 Ibid. hal. 29-30
14 Kaban&Whitten. 2006. Liberalisasi Perdagangan dan Krisis Lingkungan. hal. 277
15 Kaban&Whitten. 2006. Liberalisasi Perdagangan dan Krisis Lingkungan. hal. 123
16 Rosidi, Sakban. 2002. The History of Modern Thought. CISC: Malang, hal. 43
17 Ibid
18 Salim, Emil. 1979.Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Mutiara Sumber Widya:Jakarta Pusat, hal. 12
19 Soemarwoto, Otto. 2005. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan:Jakarta, hal. 158
20 Salim, Emil. 1979.Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Mutiara Sumber Widya:Jakarta Pusat, hal. 37-38
21 Kaban&Whitten. 2006. Liberalisasi Perdagangan dan Krisis Lingkungan. hal. 247
22 Kaban&Whitten. 2006. Liberalisasi Perdagangan dan Krisis Lingkungan. hal. 279-280
23 Al-Qur’an. Damaskus: Darul Basyair, hal. 6
24 Al-Qur’an. Damaskus: Darul Basyair, hal. 157
25 Al-Qur’an. Damaskus: Darul Basyair, hal. 413
26 http://www.Hidayatullah.com. Diakses pada tanggal 20 April 2007

27 http://islamlib.com. Diakses pada 20 April 2007

28 Rokhman, Rolly Abdul. Wahyuni, Yayuk Sri. 2005. Fikih. Madrasah Development Center. Kanwil Departemen Agama Provinsi Jawa Timur: Surabaya, hal. 2
29 Ibid
30 http://muslimhands.com. Diakses pada 20 April 2007

1 komentar:

M. Wiyono 6 Januari 2011 pukul 01.43  

kunungan baliknya ya mas....

Posting Komentar

Tentang Blog ini

Blog ini lahir karena motivasi penulis untuk mengabadikan beragam dokumentasi pribadi, baik berupa tulisan maupun gambar. Pengalaman pendidikan penulis di bidang bahasa dan budaya memberikan warna tersendiri dalam pemilihan tema, koleksi tautan, dan topikalisasi tulisan. Selamat Membaca dan Turut Memberi Warna

  © Blogger template Starry by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP