Pembaharuan Budaya yang Ramah Lingkungan
Kapitalisme dan Kerusakan lingkungan. Sebuah Fenomena
Evolusi jumlah manusia selalu berbanding lurus dengan evolusi sosio-kultural. Hipotesa tersebut diperkuat oleh fakta-fakta dilapangan. Mari kita analisis dari data statistik tentang pertumbuhan pendudukan di Indonesia mulai tahun 1950 hingga tahun 2000. Tahun 1950 sebanyak 79,2 juta jiwa, tahun 1960 sebanyak 95,2 juta jiwa, tahun 1970 sebanyak 121,1 juta jiwa, tahun 1980 sebanyak 150,6 juta jiwa, tahun 1990 sebanyak 190,9 juta jiwa, dan tahun 2000 sebanyak 241,2 juta jiwa. Kenaikan yang cukup fantastis. Ledakan populasi penduduk ini tentu saja mempunyai konsekuensi pada pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal. Logikanya, semakin banyak jumlah penduduk disuatu daerah, semakin luas ruang yang dibutuhkan untuk tempat tinggal. Begitupun, semakin tinggi angka kenaikan jumlah penduduk, semakin tinggi angka kebutuhan pangan. Jika kenaikan-kenaikan tersebut tidak diimbangi dengan pemeliharaan sumber-sumber daya alam penghasil pangan maupun penyedia tempat tinggal, maka sudah bisa diprediksi terjadi ketidakseimbangan dan ketimpangan lingkungan yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia.
Ketidakpedulian terhadap keseimbangan alam ini akan mengarah pada eksploitasi lingkungan yang seringkali tanpa sadar telah dilakukan oleh manusia. Kegiatan eksploitatif tersebut diantaranya untuk pemenuhan kompleksitas kebutuhan primer, pemenuhan kebutuhan sekunder, dan penggunaan sumberdaya alam sebagai energi.
Untuk meminimalisir ketidakseimbangan lingkungan yang terjadi dan menjaga kesinambungan sumberdaya-sumberdaya alam, secara sederhana, manusia dapat membatasi penggunaan barang-barang kemasan berbahan anorganik seperti mika, alumunium, dan besi, menjaga kebersihan aliran sungai agar siklus alam berlangsung normal, serta membatasi pemakaian benda-benda elektronik yang dapat merusak lapisan udara.
Pentingnya menjaga keseimbangan seperti dipaparkan diatas, merujuk pada satu fakta bahwa kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari alam. Oleh karena itu diperlukan toleransi tinggi antar keduanya agar kehidupan berlangsung harmonis. Toleransi ini berarti adanya hubungan timbal balik yang proporsional. Misalnya, jika suatu masyarakat membutuhkan ruang kosong untuk tempat tinggal sedangkan tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar, maka tepat apabila mereka memenuhi kebutuhan tersebut. Yang menjadi persoalan adalah tidak tersisanya ruang kosong untuk menjaga kesinambungan habitat tumbuh-tumbuhan. Padahal jika diamati manusia sangat bergantung pada tumbuh-tumbuhan sebagai penghasil udara segar. Disisi inilah tidak tercapainya harmonisasi hubungan manusia dan lingkungan.
Permasalahan sampah turut memberikan kontribusi negatif pada kualitas lingkungan. Meski Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah memberi contoh konkret penanganan masalah ini melalui Perda No. 11/1988 tentang Ketetiban Umum dan Perda No. 5/1988 tentang Kebersihan yang mengatur ketentuan denda bagi pembuang sampah disembarang tempat sebesar 20.000 hingga 25.000 rupiah, namun pada prakteknya belum bisa mengurangi ledakan sampah kota. Ada dua asumsi yang berkembang atas tidak efektifnya peraturan tesebut, pemerintah kurang tegas dalam menerapkan aturan tersebut dan aturan yang dibuat tidak mampu membuat pelanggar jera. Negara Malaysia memberlakukan denda untuk pelaggaran yang sama sebesar RM 500 atau 15 juta bagi pelanggar.
Permasalahan pemukiman, penebangan liar, dan sampah pada dasarnya bersumber dari pengembangan sektor ekonomi dan industri yang tidak terkontrol. Liberalisasi perdagangan, sebagai salah satu contoh, tidak memperhatikan biaya konservasi lingkungan karena peningkatan biaya produksi dan pengiriman barang, sehingga dampak produk dibebankan pada masyarakat. Prinsip-prinsip seperti ini diadopsi mentah-mentah dari prinsip kapitalisme barat yang berlandaskan atas semangat mengeluarkan biaya sekecil mungkin untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Sehingga manusia memandang siklus kehidupannya hanya berpusat pada proses mengambil (take) dan mengabaikan proses memberi (give).
Sejak abad 18, Adam Smith, seorang tokoh ekonomi, melukiskan manusia sebagai unsatisfied animal (hewan yang tidak penah puas) yang terus mengejar kemajuan. Hipotesa ini kemudian berkembang menjadi konsep kapitalisme. Komitmen manusia untuk mengembangkan diri ini tentu saja berdampak positif bagi perkembangan peradaban, akan tetapi rasa ketidakpuasan yang mendorong manusia untuk melakukan eksploitasi lingkungan yang berakhir pada kehancuran manusia itu sendiri. Pada akhirnya rasa ketidakpuasan yang dimiliki manusia mengarah pada satu titik kulminasi yang disebut aksioma kerakusan (the axiom of greed).
Jika 6000 tahun yang lalu, Mesopotamia, dilembah sungai Tigris dan Euphrates yang kini dikenal sebagai negara Iraq, mengalami masalah lingkungan untuk pertama kalinya bagi peradaban dunia, masyarakat global pada umumya dan Bangsa Indonesia khususnya merasa cemas dan menyadari pencemaran lingkungan baru pada tahun 1970an, meski pembangunan telah berlangsung ratusan tahun. Tidak dapat dipungkiri, pembangunan bagi peradaban manusia merupakan sebuah konsekuensi dari kemajuan pola pikir dan budaya. Sesungguhnya pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan hidup. Keduanya memiliki pola interaksi yang erat. Oleh karena itu, lingkungan seperti apa yang ingin diciptakan manusia sebenarnya bisa direkayasa oleh manusia itu sendiri.
Tindakan Preventif Pemerintah
Tanggung jawab pemerintah utamanya adalah mengarahkan pembangunan jangka panjang agar sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu pembinaan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila. Sedangkan masyarakat Pancasila adalah masyarakat yang menjalin keselarasan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Merujuk pada undang-undang tersebut, maka seyogyanya pemerintah membuat program-program yang berorientasi pada ketiga ciri masyarakat pancasila diatas. Pluralitas masyarakat Indonesia terkadang menjadi hambatan pencapaian sebuah masyarakat Pancasila. Sebagai satu contoh, konsep keselarasan manusia dan alam dapat dipahami secara berbeda antar satu komunitas dengan komunitas masyarakat yang lain. Sehingga proses konservasi lingkungan seringkali menemui kendala bahkan tak jarang justru menciptakan persoalan kultural yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya.
Sejak kemerdekaan yang dicetuskan pada 17 Agustus 1945, negara Indonesia telah mengalami beberapa pergantian pemerintahan. Setiap periode, pemerintah tidak pernah mengubah atau menghapus departemen lingkungan hidup meski setiap periode memiliki corak tersendiri yang terangkum dalam masing-masing program kerja. Departemen Lingkungan Hidup pada masa Orde Baru menggalakkan reboisasi atau penghijauan kembali. Seiring dengan pergeseran pembangunan yang berorientasi pada pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, maka yang menjadi perhatian pemerintah saat ini adalah penerapan teknologi yang tepat guna dan ramah lingkungan. Idealnya, konsep ini sangat mendukung proses konservasi lingkungan di Indonesia, namun pada prakteknya, konsep ini belum terlaksana secara maksimal. Pelaksanaan peraturan pemerintah terkait dengan konservasi lingkungan seringkali diboncengi kepentingan pribadi.
Pemerintah melalui pendidikan juga telah mengupayakan pengenalan konsep konsevasi lingkungan pada anak didik. Pendidikan berparadigma lingkungan, sebagai salah satu contoh, dirancang untuk membekali anak pemahaman dan ketrampilan praktis untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Sedikitnya ada 3 urgensi pengenalan anak pada lingkungan, bahwa kebersatuan manusia dengan alam, hukum alam sebagai sumber inovasi teknologi, dan kemampuan alam dalam menumbuhkan daya religiusitas. Lembaga pendidikan merupakan tempat yang efektif bagi proses sosialisasi program konservasi lingkungan. Apalagi dengan berbagai bencana yang telah menimpa Indonesia, anak didik akan mudah mencerna dan memahami dampak negatif kerusakan lingkungan.
0 komentar:
Posting Komentar