MONUMEN YOGYA KEMBALI: Saksi Mata Heroisme Pejuang Yogya
Monumen Yogya Kembali atau lekat dengan istilah ‘monjali’ didirikan tidak jauh dari jantung kota Yogyakarta, tepatnya di jalan Ring Road Utara atau di Dusun Jongkang, Kelurahan Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kapubaten Sleman. Pada suatu kesempatan, saya dan salah seorang teman dekat bermotor mengunjunginya. Kebetulan jarak Monjali dari tempat tinggal kami cukup dekat, hanya berjarak tempuh 10 menit tanpa hambatan lampu merah. Sengaja kami pilih hari Selasa untuk menghindari keramaian pengunjung sehingga leluasa berkeliling. Tiket masuk relatif murah, 5.000 rupiah untuk dewasa dan 7.500 untuk wisatawan asing.
Memasuki kompleks Monjali, nuansa heroik mulai terasa karena di pasang replika Pesawat Cureng di dekat pintu timur dan replika Pesawat Guntai di dekat pintu barat unit, dibawah tembok tinggi menyerupai benteng. Tepat di belakang tembok depan, terdapat dinding lebar dan tinggi memuat 420 nama pejuang yang gugur antara 19 Desember 1948 hingga 29 Juni 1949 serta puisi Karawang Bekasi-nya Chairil Anwar. Disini saya sempat membaca beberapa nama sekaligus mengabadikan gambarnya.
Ada sejarah besar yang melatarbelakangi pembangunan monumen ini. Saying sekali dalam hal ini, saya tidak mendapatkan sumber detail peristiwa bersejarah tersebut. Namun secara sederhana dapat digambarkan bahwa Agresi Militer II pada bulan Desember 1948 melakukan pendudukan atas Yogyakarta. Atas gagasan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Letkol Soeharto selaku Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III memimpin serangan bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam. Dan ini merupakan satu kekalahan bagi Belanda.
Pertempuran yang kemudian dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret tersebut yang menjadi bukti bahwa TNI masih memiliki kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Serangan ini pula mengisyaratkan pada dunia bahwa RI masih eksis.
Peristiwa besar yang akhirnya didengar PBB membuat PBB memaksa Indonesia mengadakan Komisi Tiga Negara (KTN) yang menghasilkan perjanjian Roem Royen tanggal 7 Mei 1949. Perjanjian itu menyepakati beberapa hal, yaitu Belanda harus menarik pasukannya dari Indonesia, dan memulangkan Presiden Soeakrno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ke Yogyakarta. Klimaks dari rangkaian peristiwa ini adalah penyerahan kedaulatan kepada RI oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
29 Juni 1985 diletakkan batu pertama pembangunan Monumen Yogya Kembali (Monjali) untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut. HB IX meletakkan batu pertama setelah melakukan upacara tradisional penanaman kepala kerbau untuk monumen setinggi 31,8 meter. Pembangunannya memakan waktu empat tahun. Hingga pada 6 Juli 1989, Presiden Suharto menandatangani prasasti. Monumen diatas tanah seluas 5,6 hektar ini berbentuk gunung yang melambangkan kesuburan.
Monumen dikelilingi oleh kolam yang dibagi oleh empat jalan menuju bangunan utama. Jalan barat dan timur menghubungkan dengan pintu masuk lantai satu yang terdiri dari empat ruang museum. Museum tersebut memuat kurang lebih 1.000 koleksi baik replika maupun peninggalan asli dari perjuangan sebelum kemerdekaan hingga Kota Yogyakarta menjadi ibukota RI, diantaranya seragam tentara, kursi tandu Panglima Besar Jenderal Sudirman, perlengkapan perang, foto-foto peristiwa, dan lainnya. Lokasi museum dilengkapi ruang Sidang Utama, yang berfungsi sebagai ruang serbaguna.
Saah satu ruangan yang menarik perhatian kami adalah ruang diorama yang berisi 10 diorama menggambarkaan rekaan situasi saat Belanda menyerang Maguwo pada tanggal 19 Desember 1948, SU Satu Maret, Perjanjian Roem Royen, hingga peringatan Proklamasi 17 Agustus 1949 di Gedung Agung Yogyakarta.
Lantai teratas disebut tempat hening. Ruangan ini berbentuk lingkaran dengan tiang bendera yang dipasangi bendera merah putih di tengahnya. Relief gambar tangan yang menggambarkan perjuangan fisik terletak di dinding barat dan perjuangan diplomasi pada dinding timur. Ruangan bernama Garbha Graha itu berfungsi sebagai tempat mendoakan para pahlawan dan merenungi perjuangan mereka.
Keluar dari bangunan utama, kami duduk-duduk sejenak di taman belakang karena cukup nyaman meski tidak luas. Monumen Yogya Kembali sepertinya dibangun memang khusus untuk keperluan wisata sejarah. Hal ini terlihat dari tidak dibangunnya pusat pertokoan atau tempat bermain selayaknya tempat wisata lain.
0 komentar:
Posting Komentar