Jumat, 13 Maret 2009

Best quotes I've ever

Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang. Karena itu, keunggulan bukan suatu perbuatan melainkan kebiasaan. Kebiasaan itu seperti kabel, kita memenuhi seuntai demi seuntai (Kasidah Cinta)

3 hal di dunia ini yang tak pernah kembali; waktu, perkataan, kehidupan
3 hal dalam kehidupan jangan sampai hilang; kehormatan, harapan, kejujuran
3 hal yang paling berharga dalam kehidupan; kepercayaan, cinta, persahabatan (someone)

Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun terjadi karena kebetulan (Andrea Hirata)

The idea of getting something for nothing can have very strong appeal, in fact that person can lose his sense of right or wrong (Finders Keepers)

Tidak ada seorang pun dapat kembali ke masa lalu untuk membuat suatu awal yang baru. Namun, setiap orang dapat memulai saat ini untuk membuat suatu akhir yang baru (Seorang kawan dekat)

Jika masih mugkin, optimalisasikan luas lahan yang ada. Bagaimanapun ruang yang luas jauh lebih baik karena berpengaruh pada kelapangan jiwa penghuninya. Tapi jika lahan terlalu sempit, maka bersabarlah karena dalam kesabaran terdapat kelapangan jiwa sejati (Diorama Sepasang Al-Banna)

Akal dan belajar seperti raga dan jiwa. Tanpa raga, jiwa hanya udara hampa. Tanpa jiwa, raga adalah kerangka tanpa makna (Kahlil Gibran)

Acapkali dalam hidup manusia dininabobokkan keyakinan instan yang berlebihan. Ketika keyakinan itu meluap yang tertinggal hanya ruang kosong dan tanpa harapan (Anne Avantie)

Hidup adalah soal keberanian menghadapi tanda tanya, tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar. Terimalah dan hadapilah! (Soe Hok Gie)

Sejak zaman nabi, tak ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila (Pramoedya AT/Rumah Kaca)

Siapa saja yang berhasil dalam usahanya adalah seorang guru yang menambahi ilmu dan pengetahuan umat manusia (Pramoedya AT/Rumah Kaca)

Kita semua harus menerima kenyataan. Tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang karena manusia juga bisa membuat kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan baru, maka kemajuan sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia (Pramoedya AT/Rumah Kaca)

Keburukan yang membuat kita lebih baik adalah sebuah kebaikan (seorang kawan dekat)

Orang besar yang sedang menjalani hal besar pasti ditantang dengan sesuatu yang besar (seorang kawan dekat)

Aku adalah wanita biasa yang terbiasa bisa (Herlinatiens)

Masa depan tercipta karena rasa takut. Ketika rasa takut tak ada, tak perlu lagi ada masa depan. Manusia menentukan, Tuhan mengusahakan (Gus Faoz)

Kita harus mensyukuri pencapaian-pencapaian kecil dalam hidup ini untuk menekan hasrat yang tidak ada habisnya sekaligus agar tidak merasa lelah (Puthut Ea/Kenanga)

Jika menginginkan pelangi, kita harus siap menghadapi hujan (Andrea Hirata)

Hanya ada dua kesempatan dalam hidup; melangkah atau mengalah. Semoga kita tidak terjebak di keduanya (Kick Andy)

Sama halnya dengan besi yang dapat berkarat karena jarang digunakan, maka berdiam diri bisa merusak kecerdasan (Leonardo Da Vinci)

Orang bisa mati, bangsa bisa bangkit dan runtuh. Tapi ide hidup terus. Ide punya daya tahan tanpa kematian (John F. Kennedy)

Kalau ada keyakinan yang bisa memindahkan gunung, itu adalah keyainan pada kekuatan anda sendiri (Marie Van Ebner-Eschenbach)

Kini Tuhan telah memeluk mimpiku. Detik ini dijantung kota Paris, dihadapan tonggak penjara Bastille, perlambang kebebasan. Aku telah merdeka, tak goyah, tak pernah sedetikpun menyerah....nasib membuktikan sifatnya yang haqiqi bahwa ia akan memihak para pemberani (Andrea Hirata/Maryamah Karpov)

Hidup untuk memberi, memesona seperti mengubah kata jadi puisi (Andrea Hirata/Maryamah Karpov)

Semangat dan ilmu dpat menaklukkan apapun (Andrea Hirata/Maryamah Karpov)

Rahasia,
Kuberi taku satu rahasia padamu, kawan
Buah paling manis dari berani bermimpi adalah kejaian-kejadian menakjubkan dalam perjalanan menggapainya (Andrea Hirata/Maryamah Karpov)

Dalam persahabatan dan cinta, dua tangan terangkat berdampingan bersama untuk menemukan apa yang tidak dapat dicapai sendirian (Kahlil Gibran)

Read more...

Melepasmu pergi

Kerinduan yang mendalam
Menghempaskan kita pada,
Titik nadir pertautan
Pertautan pandang yang dihalau,
Deburan ombak dilaut biru

Siapa pun tak kan pernah lupa
Akan satu masa penuh cita
Tercatat dalam laman seribu zaman
Tersimpan direlung hatiku,
Kedalaman kasih yang pernah terukir

Pertautan kita karna takdir
Perpisahan kita pun karna takdir

Ku menjumpamu
Disiang yang kering
Kita berjalan meski pelan
Dan akhirnya pun harus menepi

Pijar itu, tak kan pernah hilang
Ujar pun itu tak pernah luruh

Apa yang diramalkan alam
Pun datang, dikemudian
Kita melepas, bersama deru yang menderas

Mari pergi
Tuk temui kita kembali,
Meski dalam raut yang berbeda
(31 oktober 2008)

Read more...

engkaukah?

Engkaukah itu,
Terbujur lugu diruang hatiku
Meletupkan kehampaan
Yang slalu datang tanpa kuundang
Mengiringi selulit nestapa
Direkahnya purnama
Dan lalu,
Engkaukah pula itu
Yang menghilang
Serupa semburat jinggaTerbawa temaram malam
Sgs, 28 February 2009

Read more...

Sekali lagi perih

Sekali lagi kerikil tertancap di ibu jari
Memugari perih, tak lagi menandingi
Aku yang dulu tertatih
Mengitari kemuraman janji
Diri yang kini kembali
Merajai onggokan duri

Namun, tak apa
Karena kurasa gembira
Didalam luka

Kucerna tawa
Dalam hempitan noda

Kubaui wangi
Ditengah bangkai diri

Dan lalu,
Kurasa diri sempurna kini

Jepara, 04 Januari 2009/09.00

Read more...

Yang Datang dan lalu Pergi

Apa yang kita lihat dari siklus alam.
Adalah sesuatu yang datang dan pergi.

Lantas, apakah yang diciptakan untuk datang
Selalu akan pergi.

Dan, apakah kepergian selalu memulakan
Sebuah kedatangan

Kalau begitu, apa hakikat kebersamaan dan kebahagaiaan

Jika keberadaan sesuatu yang datang,
Memaksa kita menyaksikan kepergiannya

Selokan mataran,
02 Januari 2009. 22:00

Read more...

Struktur Sosial Masyarakat Aceh Tamiang

1.1. Latar Belakang
Sejak para ilmuwan merumuskan beberapa kriteria keilmiahan suatu bidang ilmu, yaitu diantaranya logis, tersusun sistematis, empirik, dan objektif, timbul kontroversi mengenai status ilmiah disiplin ilmu sosiologi mengingat pada awalnya, objek bidang ilmu ini dianggap spekulatif dan tidak mudah untuk digeneralisasi. Namun, para ilmuwan abad 18-19 berhasil melembagakan disiplin ilmu sosiologi sebagai bagian dari disiplin akademis dan menjadi satu disiplin ilmu yang mandiri. Penetapan ini berdasar pada kemampuan sosiologi dalam memenuhi unsur-unsur pengetahuan, yaitu empiris atau observable, teoritis, kumulatif, dan nonetis atau tidak menilai baik-buruk suatu fakta sosial (Soekanto. 2007: 13).
Sebagai sebuah disiplin ilmu, tentu saja sosiologi memiliki sebuah objek kajian, yaitu masyarakat. Hal tersebut terefleksi dari fungsi dan tugas utama sosiologi sebagai alat untuk mendeskripsikan suatu fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat (Usman. 2004: 16). Sehingga dapat dipahami bahwa masyarakat sebagai penghasil fenomena sosial menjadi tema sentral dalam kajian-kajian sosiologi.
Perbincangan mengenai masyarakat tidak terlepas dari perihal interaksi karena hal tersebut merupakan faktor utama timbulnya masyarakat. Secara sederhana, interaksi merupakan suatu peristiwa sosial dimana orang perorang bertemu dan bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan, baik tujuan individu maupun kolegial (Soekanto. 2007: 55). Pertemuan orang perorang adalah satu wujud watak dasar manusia yang memiliki keterbatasan sehingga memerlukan orang lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.
Interaksi sosial yang sudah menjadi keniscayaan dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat. Hal itu disebabkan oleh adanya proses identifikasi dalam setiap proses interaksi sosial. Kontak sosial dan komunikasi sebagai syarat utama sebuah interaksi menciptakan kecenderungan-kecenderungan alamiah untuk mengelompokkan diri.
Secara lebih jelas, Usman (2004: 116) mendeskripsikan kelompok sosial sebagai setiap kumpulan orang yang berinteraksi secara sadar berdasarkan norma tertentu. Proses internalisasi suatu norma dalam kehidupan masyarakat melalui beberapa proses, diantaranya enkulturasi yaitu pengenalan norma di masyarakat, proses sosialisasi yaitu pembelajaran terhadap norma masyarakat, internalisasi yaitu pelesapan norma dalam pribadi individu, asimilasi yaitu pembauran dua budaya sehingga menciptakan satu budaya baru, dan akomodasi yaitu usaha pencegahan terhadap konflik sosial. Melalui proses-proses tersebut, manusia mampu menciptakan stabilitas kehidupan bermasyarakat yang mapan.
Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa norma merupakan unsur yang fundamental dalam suatu kelompok sosial. Koentjaraningrat dalam Soekanto(2007: 171) menegaskan bahwa norma mutlak diperlukan dalam sebuah sistem masyarakat karena perlu adanya tata aturan khusus untuk mengatur manusia dalam proses pemenuhan kebutuhan individu maupun kolektif demi kelestarian kehidupan manusia itu sendiri. Norma-norma dipelihara oleh masyarakat yang merumuskannya. Oleh karena itu, seyogyanya terdapat sebuah lembaga masyarakat yang secara khusus memiliki wewenang untuk merumuskan proses pelaksanaan dan pengawasan norma tersebut.
Bentuk norma yang terkandung dalam sistem sosial masyarakat bergantung pada corak budaya masyarakat tersebut. Dalam hal ini, Bangsa Indonesia dinilai sebagai bangsa yang memiliki tingkat pluralitas budaya tinggi. Setiap daerah mempunyai budaya dan adat istiadat yang berbeda, sehingga corak sistem masyarakatnya pun tidak sama. Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu daerah yang memiliki khazanah budaya dan struktur sosial masyarakat yang menarik untuk diamati. Berdasarkan pengamatan beberapa pengamat sosial, eksistensi masyarakat adat perlahan-lahan terkikis dengan penerapan sistem yang dikembangkan pemerintah melalui penyeragaman struktur masyarakat menjadi rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), kelurahan, kecamatan, kabupaten, dan provinsi.
Struktur lapisan masyarakat Aceh yang secara historis dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu umara dan ulama tentu saja tidak selaras dengan sistem sentral yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Umara merupakan perwujudan pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam satu unit wilayah kekuasaan, sedangkan ulama adalah pemimpin yang mengurusi masalah agama atau hukom atau syariah islam. Kedua golongan masyarakat tersebut memegang peranan penting dalam struktur masyarakat Aceh yang merupakan wujud kearifan lokal masyarakat setempat.
Berangkat dari fenomena sosial tersebut, penulis tertarik untuk mengamati dan menyajikan ulasan singkat mengenai khazanah kearifan lokal masyarakat Aceh Tamiang khususnya sistem struktur masyarakatnya sekaligus pola kepemimpinan ditiap-tiap struktur.
1.2. Teori Fungsionalisme Struktural dan Keterkaitannya dengan Teori Sosial lainnya. Sebuah Ulasan Singkat
A. Talcott Parsons dan Teori Fungsionalisme Struktural
Tradisi pemikiran para fungsionalis barat mengenai teori fungsionalisme struktural berangkat dari analogi sistem biologi yang melihat jasad atau badan sebagai sebuah sistem. Karena merupakan sebuah sistem, badan terdiri dari kesatuan komponen-komponen pembentuk yang bekerjasama dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pemeliharaan diri. Berdasarkan analogi tersebut, para ahli mengamati masyarakat sebagai sebuah rangkaian komponen beserta fungsinya masing-masing yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Adalah Talcott Parson, seorang pakar sosiologi kelahiran Colorado pada tahun 1902, yang mengawali pengembangan teori fungsionalisme struktural. Publikasi spektakuler yang dimiliki Parson salah satunya adalah The Structure of Social Action (1937). Dari langkah awal inilah, Parson menelurkan teori tindakan yang menganggap tindakan manusia bersifat voluntary, intentional, dan symbolic.
Kemudian ia mengemukakan bahwa pada dasarnya suatu sistem tindakan umum terdiri dari tiga sistem yang saling berkaitan; sistem sosial, personalitas, dan kultural. Dari sistem sosial inilah, Parson melihat adanya struktur-struktur dalam masyarakat yang memiliki fungsi masing-masing. Dalam pengembangan ide tersebut, Parson banyak berkiblat pada hasil-hasil pemikiran pendahulunya, diantaranya Durkheim, Malinowski, Weber, dan Pareto (Beilharz. 2005: 291-294).

B. Sistem Sosial
Sekali lagi, dapat digarisbawahi bahwa sistem sosial yang dirumuskan oleh Parsons dan beberapa sosiolog lainnya menekankan sifat interrelationship atau saling keterhubungan dan saling ketergantungan antar unsur-unsur struktural dalam kehidupan sosial. Dalam proses interaksi sosial anggota masyarakat melaksanakan hubungan timbal balik dengan cara menyesuaikan diri.
Sistem sosial terdiri atas aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi satu dengan yang lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat, kebiasaan atau norma yang berlaku.Sistem sosial ini bersifat nyata atau konkret (Usman. 2004: 63). Beberapa sistem sosial yang ada dalam masyarakat adalah;
1) Sistem mata pencaharian
2) Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
3) Bahasa
4) Sistem kepercayaan
Ulasan mengenai sistem sosial merupakan pijakan dasar dalam memahami institusi sosial yang tumbuh dan berkembang dalam sistem masyarakat. Meskipun belum ditemukan istilah yang tepat untuk merefleksikan isi frase kata sosial institution¸ namun beberapa sosiolog di Indonesia sepakat untuk menggunakan kata institusi sosial atau lembaga kemasyarakatan untuk menggambarkannya.
Telah disinggung dalam bab sebelumnya bahwa institusi sosial merupakan sesuatu yang timbul akibat tindakan manusia yang memiliki kecenderungan untuk membentuk kelompok-kelompok atau koloni sesuai dengan latarbelakang sosial dan kebutuhan masing-masing. Agar ketertiban pelaksanaan kehidupan bermasyarakat antar kelompok-kelompok tersebut tercipta maka diperlukan tata aturan atau yang populer disebut dengan norma.

C. Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan
Dalam satu sistem kemasyarakatan dimana individu berkumpul, bertemu, dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan hidup, keberadaan seorang pemimpin menjadi suatu keniscayaan. Sebagaimana telah disinggung pada subbab sebelumnya bahwa kehidupan bermasyarakat di atur oleh norma atau tata tertib. Agar norma tersebut berjalan sesuatu aturan yang berlaku dan ditaati atau dilaksanakan oleh anggota masyarakat, maka diperlukan satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengadakan pengawasan dan tinjauan. Seyogyanya pula suatu lembaga masyarakat memiliki pemimpin yang memimpin pelaksanaan sistem operasional norma masyarakat. Maka ulasan singkat mengenai kekuasaan, wewenang ,dan kepemimpin dirasa perlu disajikan sebelum memotret sistem organisasi sosial masyarakat Aceh Tamiang.
Dalam disiplin ilmu sosiologi, kekuasaan tidak dipandang sebagai sesuatu yang baik dan buruk akan tetapi kekuasaan merupakan piranti atau unsur penting dalam masyarakat. Secara sederhana, kekuasaan digambarkan sebagai suatu kemampuan untuk memengaruhi orang lain (Soekanto. 2007: 227). Kekuasan umumnya dijelmakan pada diri seseorang yang kemudian lazim disebut pemimpin.
Kekuasaan bersumber pada beberapa aspek kehidupan sosial dan diselaraskan dengan kegunaannya masing-masing, sebagiamana berikut: kekuasaan yang bersumber pada militerisme memiliki kegunaan sebagai pengendali kekerasa, yang bersumber pada ekonomi berguna untuk mengendalikan tanah, buruh, kekayaa, dan produksi, yang bersumber pada politik berguna untuk mengambil keputusan, yang bersumber pada hukum berguna untuk mempertahankan interaksi, yang bersumber pada tradisi berguna sebagai sistem kepercayaan, yang bersumber pada ideologi berguna sebagai pandangan hidup, dan yang bersumber dari diversionary power berguna untuk kepentingan rekreatif (Soekanto. 2007: 232).
Sedikit berbeda dengan kekuasaan, wewenang merupakan suatu hak untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan, dan menyelesaikan permasalahan (Maclver dalam Soekanto. 2007: 242). Dari definisi tersebut, wewenang dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan, akan tetapi kekuasaan harus mendapatkan pengesahan dari masyarakat terlebih dahulu untuk dapat menjalankan kewenangan.
Menurut pandangan Max Weber dalam Soekanto (2007: 244-245), terdapat 3 bentuk wewenang, yaitu:
- wewenang kharismatis : wewenang yang didasarkan pada suatu kemampuan khusus yang dimiliki seseorang (seringkali bersifat irasional),
- wewenang tradisional : wewenang yang dimiliki seseorang atau kelompok karena kekuasaan yang telah melembaga dan melebur dalam masyarakat.
- wewenang rasional : wewenang yang didasarkan pada sistem hukum yang berlaku.
Selain bentuk-bentuk wewenang menurut pemikiran Weber diatas, beberapa ahli juga merumuskan beberapa bentuk lainnya, akan tetapi hanya wewenang resmi dan tidak resmi sebagaimana dikemukakan oleh Robert A. Nisbet dalam The Social Bond, An Introduction to The Study of Society yang akan disinggung secara singkat oleh penulis karena hal ini berkaitan dengan sistem organisasi masyarakat yang diangkat sebagai tema sentral tulisan ini. Wewenang resmi bersifat sistematis dan rasional serta memiliki aturan tata tertib yang tegas dan tetap sedangkan wewenang tidak resmi diterapkan tidak sistematis tetapi cenderung spontan dan situasional. Wewenang tidak resmi dapat diamati dari sikap seorang bapak sebagai kepala rumah tangga.
Kekuasaan dan wewenang bermuara pada sistem kepemimpinan. Kepemimpinan yang bersifat resmi biasanya dijelmakan dalam suatu jabatan sehingga pelaksanaannya dilandaskan pada peraturan-peraturan resmi pula. Lain halnya dengan kepemimpinan tak resmi yang didasarkan pada pengakuan dan kepercayaan masyarakat, meskipun tetap harus berpedoman pada peraturan atau undang-undang yang berlaku (Soekanto. 2007: 250-251).
Keberadaan pemimpin dalam suatu sistem masyarakat sangat diperlukan utamanya untuk mengatur pelaksanaan norma masyarakat agar tercipta interaksi sosial yang dinamis. Berdasarkan konsepsi masyarakat tradisional, seorang pemimpin harus memiliki sifat Ing ngarsa sung tulada (Di muka memberi teladan), Ing madya mangun karsa (Di tengah membangun semangat), dan Tut wuri handayani (Dari belakang memberi dorongan). Pengejewantahan dari konsepsi tersebut dimasa kini adalah bahwa pemimpin harus memiliki idealisme kuat, mewujudkan keinginan masyarakat, dan mengikuti perkembangan masyarakat. Berangkat dari prinsip tersebut, maka sistem kepemimpinan masyarakat disebut ”pamong praja/pamong desa” yang berarti membimbing masyarakat.
Soekanto (2007: 257) juga merumuskan beberapa pola kepemimpinan diterapkan dalam masyarakat, yaitu melalui pola otoriter, demokratis, dan bebas. Pola-pola tersebut dilaksanakan sesuai dengan karakteristik masyarakatnya, misalnya pola atau cara demokratis diterapkan pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan pola otoriter biasanya diterapkan pada masyarakat heterogen.
Pemahaman mengenai beberapa konsep dasar tentang kekuasaan, wewenang, dan kepemimpinan diatas membantu penelusuran dan pemahaman kita terhadap sistem organisasi sosial masyarakat yang hidup dan berkembang pada masyarakat Aceh Tamiang.

1.3. Gambaran Sosial Masyarakat Aceh Tamiang
Dalam subbab ini, penulis akan memberikan gambaran singkat profil daerah dan masyarakat Aceh Tamiang yang mencakup letak geografis dan potensi daerah, sejarah singkat, bentuk pemerintahan, dan khazanah sosial budaya masyarakat lokal berdasarkan beberapa sumber, salah satunya adalah data BPS Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, situs resmi Provinsi NAD, lembaga konservasi budaya aceh, dan beberapa sumber terkait.
Secara geografis, Kabupaten Aceh Tamiang terletak di 03 53 - 04 32' LU sampai 97 44'- 98 18' BT dengan ibukota Karang Baru dengan luas wilayah keseluruhan 1.939 km. Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Kota Langsa dan Selat malaka di sebelah utara, Kabupaten Gayo lues dan provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Utara di sebelah timur, serta Kabupaten Aceh Timur di sebelah barat ini merupakan kawasan yang kaya akan minyak dan gas serta menjadi salah satu sentra perkebunan kelapa sawit di NAD.
Dari sektor pertanian, Kabupaten Aceh Tamiang penghasil tanaman bahan pangan seperti padi, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan dengan luas lahan pertanian produktif mencapai 210.279 hektar. Sektor perkebunan yang dibudidayakan diantaranya karet, kelapa sawit, kopi, kakao, dan jeruk dengan luas areal perkebunan mencapai 101.179 hektar yang terbagi dalam perkebunan rakyat 23.392 hektar dan perkebunan swasta 77.787 hektar Sedangkan dari sektor kelautan, kecamatan Manyak payed, Bendahara dan Seruway merupakan penghasil perikanan laut, seperti udang windu, udang putih, ikan tongkol, selar, hiu, bawal, kakap, tengiri, kerapu, dan kepiting.
Sejarah Aceh Tamiang diperkirakan dimulai pada abad ke-12 dengan berdirinya kerajaan di bawah pimpinan Raja Muda Sedia (1330–1336). Dalam perkembangannya, kerajaan dengan nama Kerajaan Tamiang tersebut mendapat Cap Sikureung dan hak Tumpang Gantung dari Sultan Aceh Darussalam atas wilayah Negeri Karang dan Negeri Kejuruan Muda. Pada tahun 1908 terjadi perubahan status No 112 Tahun 1878, yakni wilayah Tamiang dimasukkan ke dalam Geuvernement Aceh en Onderhorigheden. Artinya, wilayah tersebut berada di bawah status hukum Onderafdeling. Bukti-bukti sejarah yang menunjukkan keberadaan Kerajaan Tamiang adalah Prasasti Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang mencatat negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakretagama menyebut "Tumihang", serta benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang.
Berdasarkan beberapa bukti sejarah tersebut maka nama Tamiang digunakan sebagai usulan nama bagi pemekaran status wilayah Pembantu Bupati Aceh Timur Wilayah III yang meliputi wilayah bekas Kewedanaan Tamiang. Terbentuknya Kabupaten Aceh Tamiang ini berdasarkan UU No 4 Tahun 2002 tertanggal 10 April 2002 dan resmi sebagai kabupaten otonom pada 2 Juli 2002.
Kabupaten yang mempunyai semboyan Kaseh pape setie mati yang berarti susah senang tetap bersatu sampai mati ini di pimpin oleh Bupati Drs. H. Abdul Latief dan wakilnya H.Awaluddin.SH.MH sebagai hasil Pilkada masabakti 2007–2012. Aceh Tamiang terdiri dari 12 kecamatan, yakni: Bendahara, Karang Baru, Kejuruan Muda, Kota Kuala Simpang, Manyak Payed, Rantau, Seruway, Tamiang Hulu, Bandar Pusaka, Banda Mulia, Tenggulun, dan Sekrak.
Dilihat dari corak budayanya, Aceh secara umum dan Aceh Tamiang secara khusus banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letaknya yang strategis. Sehingga tidak dipungkiri bahwa beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri.
Agama Islam merupakan agama yang mendominasi di wilayah Aceh secara keseluruhan oleh sebab itu Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah” yang mengandung arti "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki. Adat menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.
Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang. Sedangkan orang Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang, yang kebanyakan kosa katanya mirip dengan bahasa melayu.

1.4. Penyelenggaraan Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Aceh Tamiang
Telah dikemukakan diatas bahwa masyarakat yang terdiri dari sekumpulan individu akan mencapai ketertiban hidup jika terdapat norma atau tata aturan yang dibuat dan dilaksanakan oleh sekumpulan individu tersebut. Karena jika tidak demikian, maka orang-perorang akan saling melanggar batas hak dan kewajiban orang lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Dalam hal ini, wujud norma menjadi hasil karya yang tidak hanya monumental akan tetapi juga sangat fundamental dalam kehidupan manusia.
Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menjunjung tinggi adat istiadat masyarakatnya. Hal ini tercermin dari masih berfungsinya institusi-institusi adat di tingkat gampong. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Masyarakat Aceh Tamiang adalah salah satu kelompok masyarakat di Aceh yang menjadi bukti lestarinya sistem adat tersebut.
Secara umum, dalam sistem adat masyarakat Aceh, organisasi sosial sebagai bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (masjid/madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang imeum mukim. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat). Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat,Ureueng Aceh (sebutan untuk orang Aceh) selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Struktur organisasi sosial tersebut secara sederhana diilustrasikan sebagai berikut:
Mukim
Gampong
Gampong
Gampong
Lorong
Lorong
Lorong
Lorong
Lorong
Lorong

Dalam sistem sosial masyarakat Aceh Tamiang, gampong dan mukim masih lestari hingga kini. Oleh karena itu perlu diulas secara khusus keberadaan kedua lembaga sosial tersebut.
a) Gampong merupakan kesatuan masyarakat hukum sebagai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Berdasarkan Qanun No.5 tahun 2003, keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif gampong. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, ia memegang fungsi Mono Trias Function (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang dibantu oleh Tuha Peut (sejenis LMD/LKMD) dan Imeum Meunasah, serta sekretaris gampong sebagai perangkat gampong (Ismail. 2002: 34).
Gampong memiliki sub struktur organisasi yang terdiri atas Perangkat/struktur lembaga adat, Pemangku adat/Fungsionaris adat, Hukum adat/norma, kaedah, Adat istiadat/reusam dalam berbagai implimentasi, seperti seremonial, seni penataan, seni ekpresi, dan Lembaga musyawarah adat/adat meusapat/pengadilan adat.
Khususnya dalam urusan ekonomi kesejahteraan rakyat, Pemerintahan gampong memiliki beberapa lembaga, yaitu :
- Keujrun Blang adalah ketua adat yang membantu pimpinan gampong dalam urusan pengaturan irigasi untuk pertanian dan sengketa sawah.
- Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang pengaturan penangkapan ikan di laut (seungketa laot).
- Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan, perladangan, dan perkebunan pada wilayah gunung dan lembah.
- Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan pajak retribusi pasar.
- Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan tambatan kapal atau perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau.
Meunasah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gampong dalam sistem masyarakat adat Aceh, tidak terkecuali Aceh Tamiang. Lembaga tersebut dijadikan identitas keacehan yang telah memberikan kontribusi dalam membangun pola sumberdaya masyarakat berfungsi sebagai organisasi sosial yang memiliki muatan nilai-nilai aspiratif, inspiratif, energis, dan islami. Secara lebih rinci fungsi meunasah dapat dirumuskan sebagai tempat ibadah/shalat berjamaah, dakwah dan diskusi, musyawarah, penyelesaian sengketa, pengembangan kreasi seni, pembinaan dan posko generasi muda, forum asah terampil dan olahraga, pusat pemerintahan gampong. Dari fungsi tersebut, disimpulkan bahwa fungsi meunasah menjadi titik sentral pembangunan masyarakat.
b) Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum dalam provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang memiliki batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berkedudukan langsung di bawah camat yang dipimpin oleh imeum mukim. Berdasarkan Qanun No.4 tahun 2003, Kepala Pemerintahan Mukim adalah Imeum Mukim dengan dibantu oleh imeum chik, tuha peut mukim, sekretaris mukim, Majelis Adat Mukim dan Majelis Musyawarah Mukim (www.acehinstitute.org.id diakses pada 30 Desember 2008).

Lembaga-lembaga adat itu sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh, karena derasnya arus globalisasi dan westernisasi serta penerapan sistem sentral yang memberikan perubahan pada peradaban masyarakat Aceh. Padahal, jika lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampong, kampung tersebut akan tetap kokoh seperti jayanya masa-masa kesultanan Aceh.
Lahirnya UU Nomor 11 tahun 2006 memperlihatkan pemerintahIndonesia telah mulai berpihak kepada masyarakat Aceh dengan mulai diakuinya keberadaan mukim dan gampong serta lembaga adat lainnya. Dijelaskan dalam bab XIII pasal 98, bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
Kabupaten
Kecamatan
Mukim
Gampong
Lorong
Lorong
Lorong
Lorong
Gampong
Gampong Diagram berikut memberikan gambaran struktur sosial masyarakat Aceh secara umum.
Diagram dibawah ini memberikan penjelasan lebih rinci struktur sosial masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang dilengkapi nama kecamatan, mukim, gampong, dan lorong. Penjabaran hirarki struktur sosial secara lengkap terdapat pada kecamatan Bendahara saja, hal ini dilakukan hanya untuk keperluan penyederhanaan dan bahan ilustrasi saja.
Aceh Tamiang
Mayak Payed
Bendahara
Karang Baru
Seruway
Kota Kuala Simpang
Kejuruan Muda
Tamiang Hulu
Rantau
Mesjid
Bandar Baru
Khalifah
Tengku Tainggi
Tempok Teungoh
Upah Hulu
Bendahara Hilir
Upah
Perkebunan Upah
Matang Teupah
Seuneubok Dalam Upah
Lorong 1
Lorong 2
Lorong 3
Lorong 4
Kesimpulan
Kearifan lokal masyarakat merupakan suatu warisan budaya yang tak ternilai harganya sehingga pelestariannya menjadi sebuah keharusan dan tugas bersama. Struktur sosial masyarakat adalah salah satu wujud warisan budaya yang tentu saja berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Aceh Tamiang sebagai salah satu daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyimpan satu khazanah budaya khususnya yang terkait dengan kehidupan sosial masyarakat. Keselarasan pola kepemimpinan antara ulama dan umara dalam menjalankan sistem sosial kemasyarakatan seyogyanya dijaga kelestariannya.
Dalam struktur sosial masyarakat Aceh Tamiang Kabupaten Aceh Tamiang, bentuk kesatuan hidup terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Setiap gampong memiliki sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang imeum mukim. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Secara yuridis, telah ada peraturan daerah yang secara khusus mengakui eksistensi gampong dan mukim dalam bentuk Qanun No.4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim dan Qanun No.5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong. Kedua Qanun ini memberi wewenang kepada gampong dan mukim untuk menjalankan tugas pokok otonomi, dengan kewajiban menjalankan tugas pemerintahan, pelaksanaan syariat Islam, penegakan adat/adat istiadat (tugas hakim) dan menyelenggarakan Anggaran Pendapatan dan Belanja sendiri. Kedua lembaga tersebut juga dapat menjalankan peran untuk membina dan mendayagunakan adat istiadat dan syariat sebagai aset kebudayaan Aceh.
DAFTAR PUSTAKA
Beilharz, Peter. 2005. Teori-teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ismail, Baruzzaman. 2002. Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh. Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah
______, Kedudukan Meunasah dan Mesjid dalam Sistem Sosial Masyarakat Aceh (online), (www.acehinstitute.org.id diakses pada 30 Desember 2008)
Info Budaya Indonesia (online), (www.tamanmini.com diakses pada 29 Desember 2008)
Kabupaten Aceh Tamiang (online), (http://www.bappedatamiang.go.id diakses pada 26 Desember 2008)
Kabupaten Aceh Tamiang (online), (http://www.nad.go.id diakses pada 25 Desember 2008)
Sejarah Kebudayaan Aceh (online), (http://www.acehforum.or.id/wikipedia-nanggroe-aceh.html diakses pada 25 Desember 2008)
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi. Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Usman, Sunyoto. 2004. Sosiologi. Sejarah, Teori, dan Metodologi. Yogyakarta: CIReD
Usman, A.Rani. 2003. Sejarah Peradaban Aceh. Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi, dan Konflik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Read more...

Bahasa dan Logika Berpikir

1.1. Latar Belakang
Akal dan pikiran merupakan perlengkapan paling sempurna yang disematkan Tuhan kepada manusia. Dengan akal dan pikiran, manusia dapat mengubah dan mengembangkan taraf kehidupannya dari tradisional, berkembang dan hingga modern. Sifat tidak puas yang secara alamiah ada dalam diri manusia mendorong manusia untuk selalu ingin mengubah keadaan. Ketidakpuasan tersebut menimbulkan perubahan-perubahan sehingga tercipta peradaban dunia yang maju.
Kemajuan yang dihasilkan oleh akal dan pikiran manusia membawa dampak positif dan negatif. Untuk meminimalisiri atau mengatasi masalah-masalah yang timbul dari dampak negatif, manusia tetap memerlukan akal untuk berpikir secara benar.
Berpikir secara logis ialah berpikir tepat dan benar yang memerlukan kerja otak dan akal sesuai dengan ilmu-ilmu logika. Setiap apa yang akan diperbuat hendaknya disesuaikan dengan keadaan yang ada pada dirinya masing-masing. Jika hal tersebut sesuai dengan kenyataan dan apabila dikerjakan mendapat keuntungan, maka segera dilaksanakan. Berpikir secara logis juga berarti bahwa selain memikirkan diri kita sendiri juga harus memperhatikan lingkungan, serta berpikir tentang akibat yang tidak terbawa emosi.
Dewasa ini, kemampuan berpikir logis dan kreatif sangat diperlukan khususnya dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan yang humanis. Berbagai macam pengetahuan berhasil dikembangkan manusia dengan beragam metode berpikir. Hal paling sederhana yang dapat kita amati adalah sekelompok anak sekolah dasar yang sedang melakukan riset IPA. Tanpa disadari, mereka menggunakan proses-proses berpikir tertentu yang berbeda dengan riset-riset pada jenis ilmu pengetahuan lainnya.
Beberapa ahli menyebut cara berpikir dengan istilah top-down dan bottom-up. Kedua cara berpikir tersebut diimplementasikan dalam pengembangan ilmu yang berbeda. Lantas bagaimana dengan ilmu bahasa? Apakah para ahli bahasa memulai analisa bahasa dari pengambilan teori tertentu untuk kemudian dipersempit dengan penentuan hipotesa yang pada akhirnya mmenuju pada proses pengujian kebenaran hipotesa tersebut? Ataukah sebaliknya, yaitu mengadakan pengamatan penggunaan bahasa dilapangan untuk kemudian digeneralisasi kesimpulan dan teorinya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang akan menjadi fokus tulisan ini, mengingat pentingnya cara berpikir dalam proses pertumbuhan dan perkembangan suatu disiplin ilmu. Diasumsikan bahwa seorang ilmuwan yang tidak memperhatikan cara berpikir dengan tepat dan benar, maka hal tersebut akan mempengaruhi kematangan hasil pemikiran yang ia hasilkan yang tentu saja berimbas pada kemapanan disiplin ilmu yang sedang dikaji. Dengan kata lain, cara berpikir yang tepat mengarah pada hasil pemikiran yang tepat pula, meskipun hal ini tidak bisa dijadikan tolak ukur karena ada faktor-faktor lain yang juga membawa pengaruh terhadap tingkat kebenaran suatu hal.
Karena disiplin ilmu yang sedang ditekuni penulis adalah ilmu bahasa, maka bahasa dan keilmuwan bahasalah yang dijadikan fokus pengamatan dalam ulasan pendek ini.
Sekali lagi ditekankan bahwa berfikir adalah berbicara dengan diri sendiri mempertimbangkan, menganalisa dan membuktikan, bertanya mengapa dan untuk apa sesuatu terjadi. Orang yang berbahagia dan tenteram hidupnya ialah orang yang memikirkan setiap langkahnya secara akal sehat dan tepat.

1.2. Proses Berpikir
Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki. Menurut J.S.Suriasumantri (1997: 1) manusia tergolong kedalam homo sapiens yaitu makhluk yang berpikir. Hampir tidak ada masalah yang menyangkut dengan aspek kehidupannya yang terlepas dari jangkauan pikiran.
Berpikir merupakan ciri utama bagi manusia untuk membedakan dengan makluk lain. Maka dengan dasar berpikir, manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Berpikir merupakan proses bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena manusia berakal. Ciri utama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Dalam arti yang luas, berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi, sedangkan dalam arti yang sempit berpikir adalah mencari hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi (Puswanti. 1992: 44).
Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: berpikir alamiah dan berpikir ilmiah. Dalam proses berpikir alamiah, pola penalaran didasarkan pada kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Disisi lain, dalam proses berpikir ilmiah, pola penalaran didasarkan pada sasaran tertentu secara teratur dan sistematis.
Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dengan mengikuti jalan pemikiran tertentu agar sampai pada sebuah kesimpulan yaitu berupa pengetahuan (Suriasumantri (1997: 1) Oleh karena itu, proses berpikir memerlukan sarana tertentu yang disebut dengan sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa: bahasa ilmiah, logika dan matematika, logika dan statistika (Tim Dosen Filsafat Ilmu. 1996: 68). Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain. Logika dan matematika mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum.
Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan penalaran induktif dan deduktif. Fungsi sarana berfikir ilmiah adalah untuk membantu proses metode ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif.
Kemampuan berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan sarana berpikir dengan baik pula, maka dalam proses berpikir ilmiah diharuskan untuk mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah menyadarkan diri kepada proses metode ilmiah baik logika deduktif maupun logika induktif. Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif.

1.3. Logika
Istilah logika berasal dari kata ’logos’ (bahasa Yunani) yang berarti kata atau pikiran yang benar. Jika ditinjau dari segi istilah saja, maka ilmu logika itu berarti ilmu berkata benar atau ilmu berpikir benar. (Bakry. 1981: 18). Dalam Kamus Filsafat, logika yang dalam bahasa Inggris ’logic’, Latin ’logica’, Yunani ’logike’ atau ’logikos’ berarti apa yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, dan sistematis (Bagus.1996: 519).
Dalam pengertian lain, logika merupakan ilmu berpikir tepat yang dapat menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan di dalam rantai proses berpikir. Dengan batasan itu, logika pada hakekatnya adalah teknik berpikir. Logika mempunyai tujuan untuk memperjelas isi suatu istilah. Dalam arti luas logika adalah sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat memisahkan secara tegas antara penalaran yang benar dengan penalaran yang salah (Kusumah. 1986: 2)
Logika sebagai cabang filsafat membicarakan aturan-aturan berpikir agar dapat mengambil kesimpulan yang benar. Menurut Louis O. Kattsoff (1986: 71), logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu, oleh karena itu logika juga dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang penarikan kesimpulan.
Fungsi logika diantaranya adalah untuk membedakan satu ilmu dengan yang lainnya jika objeknya sama dan menjadi dasar ilmu pada umumnya dan falsafah pada khususnya (Kasmadi, dkk. 1990: 45).
Sejak keberadaan manusia di muka bumi hingga sekarang, akal pikiran selalu digunakan dalam melakukan setiap aktivitas, baik aktivitas berpikir alamiah maupun berpikir kompleks. Dalam melakukan kegiatan berpikir seyogyanya digunakan kaidah-kaidah tertentu yaitu berpikir yang tepat, akurat, rasional, objektif dan kritis sehingga proses berpikir tersebut membuahkan pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri.
Agar pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir dilakukan dengan cara tertentu. Cara berpikir logis dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a) logika induktif dimana cara berpikir dilakukan dengan cara menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Untuk itu, penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.
Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Misalnya, jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, lantas bagimana caranya kita mengumpulkan data sampai pada kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut di negara kita, tetapi kegiatan ini tentu saja akan menghadapkan kita kepada kendala tenaga, biaya, dan waktu.
Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles (Tim Dosen Filsafat Ilmu. 1996: 91-92), diperlukan proses penalaran sebagai berikut:
1) Langkah pertama adalah pengumpulan fakta-fakta khusus. Pada langkah ini, metode yang digunakan adalah observasi dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, sedangkan eksperimen dilakukan untuk membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari.
2) Langkah kedua adalah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil atau jawaban sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat, diantaranya dapat diuji kebenarannya, terbuka dan sistematis sesuai dalil-dalil yang dianggap benar serta dapat menjelaskan fakta yang dijadikan fokus kajian.
3) Langkah ketiga adalah mengadakan verifikasi. Hipotesis merupakan perumusan dalil atau jawaban sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Proses verifikasi adalah satu langkah atau cara untuk membuktikan bahwa hipotesis tersebut merupakan dalil yang sebenarnya. Verifikasi juga mencakup generalisasi untuk menemukan dalil umum, sehingga hipotesis tersebut dapat dijadikan satu teori.
4) Langkah keempat adalah perumusan teori dan hukum ilmiah berdasarkan hasil verifikasi. Hasil akhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah terbentuknya hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagia semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.

b) Logika Deduktif yaitu suatu cara berpikir di mana pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir silogismus yang secara sederhana digambarkan sebagai penyusunan dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut (Suriasumantri. 1988: 48-49).
Dengan kata lain, penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang merupakan kebalikan dari penalaran induktif. Contoh penarikan kesimpulan berdasarkan penalaran deduktif adalah,
Semua mahluk hidup perlu makan untuk mempertahankan hidup (Premis mayor)
Joko adalah seorang mahluk hidup (Premis minor)
Jadi, Joko perlu makan untuk mempertahankan hidupnya (Kesimpulan)
Kesimpulan yang diambil bahwa Joko juga perlu makan untuk mempertahankan hidupnya adalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan ini benar harus dikembalikan kepada kebenaran premis-premis yang mendahuluinya. Apabila kedua premis yang mendukungnya benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulannya itu salah, meskipun kedua kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikkan kesimpulannya tidak sah. Ketepatan kesimpulan bergantung pada tiga hal yaitu kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan.
1.4. Bahasa, Ilmu Bahasa, dan Logika Berpikir
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa bahasa merupakan sesuatu yang tidak terpisah dari aspek kehidupan manusia. Hal tersebut juga berlaku pada aspek ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan filsafat. Seorang pemikir atau filosof senantiasa bergantung pada bahasa untuk menyampaikan gagasan atau buah pikirannya kepada orang lain (Hidayat. 2006: 31). Disamping itu, tugas utama filsafat adalah menemukan makna dibalik simbol-simbol yang ada di alam semesta atau dalam kehidupan manusia. Maka, dalam konteks ini, filsafat membutuhkan bahasa untuk membongkar, memahami, dan menyampaikan makna simbol-simbol tersebut.
Berangkat dari signifikansi bahasa dalam ilmu filsafat diatas, perlu kiranya diulas secara singkat hakikat bahasa. Rumusan mengenai hakikat bahasa telah ramai dibicarakan oleh para ahli. Beberapa diantaranya berpendapat bahwa bahasa merupakan sistem lambang arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari (Kridalaksana dalam Hidayat. 2006: 22). Senada dengan pendapat tersebut, Bloch, Trager, dan Wardhaugh menggarisbawahi kata ”lambang”, ”bunyi”, dan ”bermakna” sebagai karakteristik hakikat bahasa. Dengan kata lain, yang disebut sebgai bahasa adalah suatu lambang berbentuk bunyi yang memiliki makna sebagai media penyampaian pesan dan alat komunikasi antar manusia.
Meskipun bahasa diibaratkan seperti urat nadi dalam kehidupan manusia atau dengan kata lain menjadi sesuatu yang tak terpisahkan, namun bahasa tetap memerlukan payung akademis agar dapat dikembangkan sebagai sebuah disiplin ilmu. Dewasa ini, dengan semakin banyaknya ilmuwan yang menyertakan bahasa kedalam kajian-kajian formal, maka ilmu bahasa bergerak menuju tingkat kemapanan akademis yang lebih tinggi.
The New Oxford Dictionary of English (2003), mendefinisikan linguistik sebagai The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural linguistics.
Ilmu bahasa atau yang populer disebut linguistik memusatkan perhatian setidaknya pada dua hal; a) mengkaji suatu bahasa tertentu untuk kepentingan bahasa itu sendiri dan b) mengkaji bahasa sebagai sarana untuk mengkaji hal-hal diluar bahasa atau untuk memenuhi kepentingan diluar bahasa. Fokus yang pertama dilakukan untuk menghasilkan deskripsi yang akurat dan lengkap mengenai bahasa itu sendiri, sedangkan yang kedua dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai proses-proses alamiah bahasa secara umum.
Linguistik merupakan kajian bahasa melalui langkah atau proses ilmiah. Kata “ilmiah” dan “bahasa” perlu digarisbawahi sebagai kata kunci. Terdapat perbedaan mendasar antara kajian linguistik tradisional (masa lampau) dan modern. Perbedaan tersebut ada pada unsur keilmiahan. Apa yang dianggap ilmiah adalah jika kajian bahasa dilakukan dengan pengamatan atau observasi terlebih dahulu sebelum merumuskan hipotesa yang kemudian di investigasi melalui eksperimen. Langkah-langkah tersebut dilakukan secara sistematis untuk menghasilkan sebuah teori yang akurat. Standar dan proses ilmiah tersebut juga berlaku pada disiplin ilmu lain.
Bahasa merupakan realitas komplek yang berdasar pada dua aspek; aspek fungsional dan aspek formal. Secara fungsional, bahasa merupakan bentuk komunikasi manusia. Berkomunikasi adalah mentransfer informasi (pesan, ide, dll) dari pengirim ke penerima. Informasi bisa berbentuk rangkaian bunyi yang sarat makna atau teks tulis. Yang perlu digarisbawahi disini, bahwa proses komunikasi dalam konteks ini adalah yang melibatkan komponen visual, vokal, dan auditori yang dimiliki manusia, dan bukan yang berbentuk olah tubuh, mimikri, ekspresi wajah, dll. Jadi lambaian tangan, dehem, batuk, tepuk tangan, dan yang serupa tidak termasuk dalam bahasa meskipun bentuk-bentuk ekspresi tersebut mengandung pesan atau makna linguistik.
Sejarah perkembangan ilmu bahasa diawali dengan kelahiran aliran tata bahasa tradisional ketika para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Salah seorang ahli bahasa bemama Dionysius Thrax (akhir abad 2 SM) merupakan orang pertama yang berhasil membuat aturan tata bahasa secara sistematis serta menambahkan kelas kata adverbia, partisipel, pronomina dan preposisi terhadap empat kelas kata yang sudah dibuat oleh kaum Stoic.
Pada perkembangan selanjutnya, ilmu bahasa bergerak maju. Masa tersebut populer disebut linguistik modern, yang terbagi kedalam dua masa yaitu linguistik abad 19 dan abad 20.
Ciri yang menonjol dari linguistik abad 19 adalah historis komparatif sebagai bidang utama penelitian. Yang diteliti tentu saja adalah hubungan kekerabatan antar bahasa-bahasa di dunia dan unsur bahasa yang diteliti tidak dihubungkan dengan unsur lainnya, misalnya penelitian tentang kata tidak dihubungkan dengan frase atau kalimat (pola penelitiannya bersifat parsial).
Sedangkan ciri khas perkembangan linguistik abad 20 adalah pendekatan penelitian yang bersifat strukturalistis (akhir abad 20 lebih bersifat fungsionalis), pengelompokkan tata bahasa berdasarkan atas mikrolinguistik, makro linguistik, dan sejarah linguistik, perkembangan pesat penelitian antardisiplin, dan prinsip penelitiannya yang deskriptif dan sinkronik.
Dari corak perkembangan disiplin ilmu linguistik diatas dapat diperoleh gambaran bahwa pola berpikir yang digunakan cenderung mengalami perubahan dari masa ke masa.
Hal tersebut dapat dilihat pada corak perkembangan linguistik abad 19 yang memfokuskan kajian dan penelitian pada bahasa-bahasa berkerabat untuk membuktikan adanya relasi historis bahasa-bahasa tersebut. Pada proses ini, ilmuwan bahasa melakukan langkah atau prosedur ilmiah dengan merumuskan hipotesa, membuktikan rumusan hippotesa tersebut dengan berbagai evidensi linguistik. Dengan kata lain, para ahli bahasa mengajukan satu asumsi atau hipotesa adanya kekerabatan antar sekelompok bahasa, untuk membuktikan kebenarannya, evidensi linguistik seperti bukti kemiripan fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikon serta latar belakang historis digunakan sebagai bahan analisis sebagai upaya pembuktian hipotesa. Jika kemiripan struktur bahasa tersebut berbanding lurus dengan relasi historis yang dimiliki sekelompok bahasa tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sekelompok bahasa tersebut berkerabat dan berasal dari satu induk bahasa yang sama. Dari langkah ilmiah tersebut, dapat diamati bahwa ilmu bahasa pada masa itu cenderung memakai pola penalaran induktif.
Perkembangan linguistik abad 20 memiliki corak yang sedikit berbeda. Ilmuwan abad 19 telah bekerja keras memformulasikan teori-teori baru dari beragam fenomena bahasa. Jika pada abad sebelumnya, ilmu bahasa diramaikan oleh kajian diakronis maka abad 20 diwarnai oleh penelitian bergenre sinkronik dimana struktur internal bahasa menjadi titik tolak pengembangan ilmu bahasa.
Dari realitas tersebut, dapat diamati bahwa logika berpikir yang berkembang adalah logika penalaran deduktif meski tidak dapat dipungkiri penalaran induktif masih digunakan.
Dari berbagai ulasan seputar bahasa, ilmu bahasa, dan logika berpikir yang digunakan dapat disimpulkan bahwa dua ragam logika berpikir yaitu deduktif dan induktif tidak dapat dilepaskan dari kegiatan ilmiah sebuah disiplin ilmu, meskipun keduanya memiliki pola yang berbeda. Dapat dijumpai penggabungan kedua logika berpikir tersebut dalam satu proses ilmiah. Hal ini dianggap sah dan wajar dalam dinamika berpikir dan dialektika ilmu pengetahuan.

1.5. Kesimpulan
Berpikir ilmiah menjadi titik tolak karya ilmiah dan perkembangan kegiatan ilmiah yang didalamnya memuat proses berpikir ilmiah. Dalam proses berpikir ilmiah, terdapat dua logika yang memiliki pola berbeda, yaitu logika berpikir deduktif dan induktif.
Berpikir deduktif didasarkan pada logika deduktif dimana kesimpulan ditarik dari pernyataan umum menuju pernyataan khusus menggunakan penalaran. Hasil berpikir deduktif dapat digunakan untuk menyusun hipotesis untuk selanjutnya diadakan pembuktian atas hipotesis melalui analisa dan penalaran.
Berpikir induktif merupakan satu langkah pengambilan kesimpulan yang dimulai dari fakta khusus menuju kesimpulan bersifat umum. Langkah berpikir induktif dimulai dari pengamatan lapangan, penyusunan hasil pengamatan, pengujian data, dan penarikan kesimpulann. Pengujian hipotesis tidak melalui pengkajian teori akan tetapi melalui kajian data lapangan.
Gabungan kedua cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah yang pada akhirnya ditujukan untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah. Berpikir ilmiah adalah gabungan berpikir deduktif dan induktif.
Dalam perspektif disiplin ilmu bahasa atau linguistik, kedua logika berpikir tersebut secara aktif diterapkan berdasarkan pada objek dan tujuan kajian. Jika tujuan suatu kajian bahasa adalah deskriptif maka logika berpikir induktif yang digunakan, akan tetapi jika diarahkan untuk kajian yang bersifat preskriptif maka logika deduktif yang diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Gramedia: Jakarta
Bakry, Hasbullah. 1981. Sistematika Filsafat. Jakarta: Wijaya
Crystal, David. 1982. What is Linguistics?. UK: Edward Arnold
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa. Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Kasmadi, Hartono, dkk.1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press
Kattsoff, Louis O.. 1986. Pengantar Filsafat. Tiara Yogyakarta: Wacana
Kusumah, Yaya S.. 1986. Logika Matematika Elementer. Bandung
Puswanti, M. Ngalim. 1992. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Suriasumantri, Jujun S. 1988. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
______, 1997. Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
The New Oxford Dictionary of English. 2003. UK: Oxford University Press
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 1996. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty

Read more...

Selasa, 10 Maret 2009

Mati

Yang tersisa
Hanya puing
Yang tak bergeming

Inilah waktunya
Saat semua akhirnya
Diam
Padam

Read more...

aku menemanimu

Menemanimu,
Memangkas hujan
Menabur debu
Menyusuri sungai hinggap ditepian

Hujan, kala itu, dimataku
Seperti galau tak berkesudahan
Yang menyembul dipalung sunyiku

Aku bermimpi
Hujan berhenti menari
Membiarkan kutilang kembali menyanyi
Mengusir dingin yang mengigiti

Dan lalu,
Sinar bulan membuatku terhenyak
Mengintip hujan yang ternyata semakin menghentak
Membaui tanah basah yang menyesak
Terduduk, aku semakin sesak

Read more...

kita

Ikatan antara kata dan makna
Seperti tak terlihat
Lingkaran antara urat dan nadi
Telah tak terungkap
Begitupun,
Rasa yang Aku dan kau punya
Sep erti awan dan udara
Seperti cahaya dan siang
Seperti air dan salju
Erat, Satu

Read more...

Menjanda

Menjanda

Menunggumu,
Seperti hal yang tlah lalu
Selalu saja sendu
Seirama syahdu

Seperti saat ini,
Berdetik ku menepi
Menyalurkan energi sunyi
Merangkai kepingan hati

Menunggumu di atas kereta senja,
Ku sapa canda
Yang berubah menjadi lara

Menunggumu,
Seperti hal yang tlah lalu
Sia-sia
Karna kau tak mungkin ada

Read more...

untukmu, lelakiku

Lelakiku,
Dipenghujung waktu
Ku lipat bongkahan deru dada
Demi sebuah nama
Cita

Lelakiku,
Tak ada yang tahu
Ku merindu
Hidup berdua tanpa henti
Melaju mengitari putaran waktu
Namun, tak terengkuh kah?

Lelakiku,
Hidup terlampau lunak untuk
Ku tebak
Masa terlalu sulit
Untuk ku henti
Demi sebuah kata cita

Lelakiku,
Mencinta ku dalam lorong gelap
Tanpa mata, tanpa telinga
Membayang masa yang bergulir
Ke pelabuhan berazas cita

Lelakiku,
Aku mencintaimu,
Tanpa pamrihku

Tapi
Lelakiku,
Hidup terlampau dangkal tuk
Sepenggal kata maaf
Atas lebih kebermaknaan citaku daripada
dirimu

Buduran, 11 Agustus 2006/ 1.08

Read more...

Minggu, 08 Maret 2009

emmm

Menyesakkan kalbu,
Mengingat segala hal tentangmu
Menampakkan kembali secuil harap,
Yang terbangun lewat mimpi
Yang tercampakkan begitu saja.

Apa itu takdir,
Aku tak tahu,
Yang kutahu diriku dirimu
Terpisah oleh ruang dan waktu
Menjelmakan satu mimpi buruk
Yang harus menjadi nyata

Dan kita pun,
Saling menjauh
Menghapus segala yang tertoreh
Mengembalikan kepemilikan pada alam

Engkau, pernah menjadi separuh hidupku
Aku, pernah menjadi arah langkahmu
Itu saja yang hendaknya teringat
Tak harus lebih

Kepergian sesuatu tak hendak merampas segalanya
Kepergian sesuatu hendaknya kehadiran segalanya
Meski kepergian ini terasa begitu menyesakkan dada

9 Februari 2008

Read more...

Tentang Blog ini

Blog ini lahir karena motivasi penulis untuk mengabadikan beragam dokumentasi pribadi, baik berupa tulisan maupun gambar. Pengalaman pendidikan penulis di bidang bahasa dan budaya memberikan warna tersendiri dalam pemilihan tema, koleksi tautan, dan topikalisasi tulisan. Selamat Membaca dan Turut Memberi Warna

  © Blogger template Starry by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP