Jumat, 13 Maret 2009

Bahasa dan Logika Berpikir

1.1. Latar Belakang
Akal dan pikiran merupakan perlengkapan paling sempurna yang disematkan Tuhan kepada manusia. Dengan akal dan pikiran, manusia dapat mengubah dan mengembangkan taraf kehidupannya dari tradisional, berkembang dan hingga modern. Sifat tidak puas yang secara alamiah ada dalam diri manusia mendorong manusia untuk selalu ingin mengubah keadaan. Ketidakpuasan tersebut menimbulkan perubahan-perubahan sehingga tercipta peradaban dunia yang maju.
Kemajuan yang dihasilkan oleh akal dan pikiran manusia membawa dampak positif dan negatif. Untuk meminimalisiri atau mengatasi masalah-masalah yang timbul dari dampak negatif, manusia tetap memerlukan akal untuk berpikir secara benar.
Berpikir secara logis ialah berpikir tepat dan benar yang memerlukan kerja otak dan akal sesuai dengan ilmu-ilmu logika. Setiap apa yang akan diperbuat hendaknya disesuaikan dengan keadaan yang ada pada dirinya masing-masing. Jika hal tersebut sesuai dengan kenyataan dan apabila dikerjakan mendapat keuntungan, maka segera dilaksanakan. Berpikir secara logis juga berarti bahwa selain memikirkan diri kita sendiri juga harus memperhatikan lingkungan, serta berpikir tentang akibat yang tidak terbawa emosi.
Dewasa ini, kemampuan berpikir logis dan kreatif sangat diperlukan khususnya dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan yang humanis. Berbagai macam pengetahuan berhasil dikembangkan manusia dengan beragam metode berpikir. Hal paling sederhana yang dapat kita amati adalah sekelompok anak sekolah dasar yang sedang melakukan riset IPA. Tanpa disadari, mereka menggunakan proses-proses berpikir tertentu yang berbeda dengan riset-riset pada jenis ilmu pengetahuan lainnya.
Beberapa ahli menyebut cara berpikir dengan istilah top-down dan bottom-up. Kedua cara berpikir tersebut diimplementasikan dalam pengembangan ilmu yang berbeda. Lantas bagaimana dengan ilmu bahasa? Apakah para ahli bahasa memulai analisa bahasa dari pengambilan teori tertentu untuk kemudian dipersempit dengan penentuan hipotesa yang pada akhirnya mmenuju pada proses pengujian kebenaran hipotesa tersebut? Ataukah sebaliknya, yaitu mengadakan pengamatan penggunaan bahasa dilapangan untuk kemudian digeneralisasi kesimpulan dan teorinya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang akan menjadi fokus tulisan ini, mengingat pentingnya cara berpikir dalam proses pertumbuhan dan perkembangan suatu disiplin ilmu. Diasumsikan bahwa seorang ilmuwan yang tidak memperhatikan cara berpikir dengan tepat dan benar, maka hal tersebut akan mempengaruhi kematangan hasil pemikiran yang ia hasilkan yang tentu saja berimbas pada kemapanan disiplin ilmu yang sedang dikaji. Dengan kata lain, cara berpikir yang tepat mengarah pada hasil pemikiran yang tepat pula, meskipun hal ini tidak bisa dijadikan tolak ukur karena ada faktor-faktor lain yang juga membawa pengaruh terhadap tingkat kebenaran suatu hal.
Karena disiplin ilmu yang sedang ditekuni penulis adalah ilmu bahasa, maka bahasa dan keilmuwan bahasalah yang dijadikan fokus pengamatan dalam ulasan pendek ini.
Sekali lagi ditekankan bahwa berfikir adalah berbicara dengan diri sendiri mempertimbangkan, menganalisa dan membuktikan, bertanya mengapa dan untuk apa sesuatu terjadi. Orang yang berbahagia dan tenteram hidupnya ialah orang yang memikirkan setiap langkahnya secara akal sehat dan tepat.

1.2. Proses Berpikir
Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki. Menurut J.S.Suriasumantri (1997: 1) manusia tergolong kedalam homo sapiens yaitu makhluk yang berpikir. Hampir tidak ada masalah yang menyangkut dengan aspek kehidupannya yang terlepas dari jangkauan pikiran.
Berpikir merupakan ciri utama bagi manusia untuk membedakan dengan makluk lain. Maka dengan dasar berpikir, manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Berpikir merupakan proses bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena manusia berakal. Ciri utama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Dalam arti yang luas, berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi, sedangkan dalam arti yang sempit berpikir adalah mencari hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi (Puswanti. 1992: 44).
Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: berpikir alamiah dan berpikir ilmiah. Dalam proses berpikir alamiah, pola penalaran didasarkan pada kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Disisi lain, dalam proses berpikir ilmiah, pola penalaran didasarkan pada sasaran tertentu secara teratur dan sistematis.
Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dengan mengikuti jalan pemikiran tertentu agar sampai pada sebuah kesimpulan yaitu berupa pengetahuan (Suriasumantri (1997: 1) Oleh karena itu, proses berpikir memerlukan sarana tertentu yang disebut dengan sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa: bahasa ilmiah, logika dan matematika, logika dan statistika (Tim Dosen Filsafat Ilmu. 1996: 68). Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain. Logika dan matematika mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum.
Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan penalaran induktif dan deduktif. Fungsi sarana berfikir ilmiah adalah untuk membantu proses metode ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif.
Kemampuan berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan sarana berpikir dengan baik pula, maka dalam proses berpikir ilmiah diharuskan untuk mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah menyadarkan diri kepada proses metode ilmiah baik logika deduktif maupun logika induktif. Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif.

1.3. Logika
Istilah logika berasal dari kata ’logos’ (bahasa Yunani) yang berarti kata atau pikiran yang benar. Jika ditinjau dari segi istilah saja, maka ilmu logika itu berarti ilmu berkata benar atau ilmu berpikir benar. (Bakry. 1981: 18). Dalam Kamus Filsafat, logika yang dalam bahasa Inggris ’logic’, Latin ’logica’, Yunani ’logike’ atau ’logikos’ berarti apa yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, dan sistematis (Bagus.1996: 519).
Dalam pengertian lain, logika merupakan ilmu berpikir tepat yang dapat menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan di dalam rantai proses berpikir. Dengan batasan itu, logika pada hakekatnya adalah teknik berpikir. Logika mempunyai tujuan untuk memperjelas isi suatu istilah. Dalam arti luas logika adalah sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat memisahkan secara tegas antara penalaran yang benar dengan penalaran yang salah (Kusumah. 1986: 2)
Logika sebagai cabang filsafat membicarakan aturan-aturan berpikir agar dapat mengambil kesimpulan yang benar. Menurut Louis O. Kattsoff (1986: 71), logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu, oleh karena itu logika juga dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang penarikan kesimpulan.
Fungsi logika diantaranya adalah untuk membedakan satu ilmu dengan yang lainnya jika objeknya sama dan menjadi dasar ilmu pada umumnya dan falsafah pada khususnya (Kasmadi, dkk. 1990: 45).
Sejak keberadaan manusia di muka bumi hingga sekarang, akal pikiran selalu digunakan dalam melakukan setiap aktivitas, baik aktivitas berpikir alamiah maupun berpikir kompleks. Dalam melakukan kegiatan berpikir seyogyanya digunakan kaidah-kaidah tertentu yaitu berpikir yang tepat, akurat, rasional, objektif dan kritis sehingga proses berpikir tersebut membuahkan pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri.
Agar pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir dilakukan dengan cara tertentu. Cara berpikir logis dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a) logika induktif dimana cara berpikir dilakukan dengan cara menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Untuk itu, penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.
Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Misalnya, jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, lantas bagimana caranya kita mengumpulkan data sampai pada kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut di negara kita, tetapi kegiatan ini tentu saja akan menghadapkan kita kepada kendala tenaga, biaya, dan waktu.
Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles (Tim Dosen Filsafat Ilmu. 1996: 91-92), diperlukan proses penalaran sebagai berikut:
1) Langkah pertama adalah pengumpulan fakta-fakta khusus. Pada langkah ini, metode yang digunakan adalah observasi dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, sedangkan eksperimen dilakukan untuk membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari.
2) Langkah kedua adalah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil atau jawaban sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat, diantaranya dapat diuji kebenarannya, terbuka dan sistematis sesuai dalil-dalil yang dianggap benar serta dapat menjelaskan fakta yang dijadikan fokus kajian.
3) Langkah ketiga adalah mengadakan verifikasi. Hipotesis merupakan perumusan dalil atau jawaban sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Proses verifikasi adalah satu langkah atau cara untuk membuktikan bahwa hipotesis tersebut merupakan dalil yang sebenarnya. Verifikasi juga mencakup generalisasi untuk menemukan dalil umum, sehingga hipotesis tersebut dapat dijadikan satu teori.
4) Langkah keempat adalah perumusan teori dan hukum ilmiah berdasarkan hasil verifikasi. Hasil akhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah terbentuknya hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagia semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.

b) Logika Deduktif yaitu suatu cara berpikir di mana pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir silogismus yang secara sederhana digambarkan sebagai penyusunan dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut (Suriasumantri. 1988: 48-49).
Dengan kata lain, penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang merupakan kebalikan dari penalaran induktif. Contoh penarikan kesimpulan berdasarkan penalaran deduktif adalah,
Semua mahluk hidup perlu makan untuk mempertahankan hidup (Premis mayor)
Joko adalah seorang mahluk hidup (Premis minor)
Jadi, Joko perlu makan untuk mempertahankan hidupnya (Kesimpulan)
Kesimpulan yang diambil bahwa Joko juga perlu makan untuk mempertahankan hidupnya adalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan ini benar harus dikembalikan kepada kebenaran premis-premis yang mendahuluinya. Apabila kedua premis yang mendukungnya benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulannya itu salah, meskipun kedua kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikkan kesimpulannya tidak sah. Ketepatan kesimpulan bergantung pada tiga hal yaitu kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan.
1.4. Bahasa, Ilmu Bahasa, dan Logika Berpikir
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa bahasa merupakan sesuatu yang tidak terpisah dari aspek kehidupan manusia. Hal tersebut juga berlaku pada aspek ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan filsafat. Seorang pemikir atau filosof senantiasa bergantung pada bahasa untuk menyampaikan gagasan atau buah pikirannya kepada orang lain (Hidayat. 2006: 31). Disamping itu, tugas utama filsafat adalah menemukan makna dibalik simbol-simbol yang ada di alam semesta atau dalam kehidupan manusia. Maka, dalam konteks ini, filsafat membutuhkan bahasa untuk membongkar, memahami, dan menyampaikan makna simbol-simbol tersebut.
Berangkat dari signifikansi bahasa dalam ilmu filsafat diatas, perlu kiranya diulas secara singkat hakikat bahasa. Rumusan mengenai hakikat bahasa telah ramai dibicarakan oleh para ahli. Beberapa diantaranya berpendapat bahwa bahasa merupakan sistem lambang arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari (Kridalaksana dalam Hidayat. 2006: 22). Senada dengan pendapat tersebut, Bloch, Trager, dan Wardhaugh menggarisbawahi kata ”lambang”, ”bunyi”, dan ”bermakna” sebagai karakteristik hakikat bahasa. Dengan kata lain, yang disebut sebgai bahasa adalah suatu lambang berbentuk bunyi yang memiliki makna sebagai media penyampaian pesan dan alat komunikasi antar manusia.
Meskipun bahasa diibaratkan seperti urat nadi dalam kehidupan manusia atau dengan kata lain menjadi sesuatu yang tak terpisahkan, namun bahasa tetap memerlukan payung akademis agar dapat dikembangkan sebagai sebuah disiplin ilmu. Dewasa ini, dengan semakin banyaknya ilmuwan yang menyertakan bahasa kedalam kajian-kajian formal, maka ilmu bahasa bergerak menuju tingkat kemapanan akademis yang lebih tinggi.
The New Oxford Dictionary of English (2003), mendefinisikan linguistik sebagai The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural linguistics.
Ilmu bahasa atau yang populer disebut linguistik memusatkan perhatian setidaknya pada dua hal; a) mengkaji suatu bahasa tertentu untuk kepentingan bahasa itu sendiri dan b) mengkaji bahasa sebagai sarana untuk mengkaji hal-hal diluar bahasa atau untuk memenuhi kepentingan diluar bahasa. Fokus yang pertama dilakukan untuk menghasilkan deskripsi yang akurat dan lengkap mengenai bahasa itu sendiri, sedangkan yang kedua dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai proses-proses alamiah bahasa secara umum.
Linguistik merupakan kajian bahasa melalui langkah atau proses ilmiah. Kata “ilmiah” dan “bahasa” perlu digarisbawahi sebagai kata kunci. Terdapat perbedaan mendasar antara kajian linguistik tradisional (masa lampau) dan modern. Perbedaan tersebut ada pada unsur keilmiahan. Apa yang dianggap ilmiah adalah jika kajian bahasa dilakukan dengan pengamatan atau observasi terlebih dahulu sebelum merumuskan hipotesa yang kemudian di investigasi melalui eksperimen. Langkah-langkah tersebut dilakukan secara sistematis untuk menghasilkan sebuah teori yang akurat. Standar dan proses ilmiah tersebut juga berlaku pada disiplin ilmu lain.
Bahasa merupakan realitas komplek yang berdasar pada dua aspek; aspek fungsional dan aspek formal. Secara fungsional, bahasa merupakan bentuk komunikasi manusia. Berkomunikasi adalah mentransfer informasi (pesan, ide, dll) dari pengirim ke penerima. Informasi bisa berbentuk rangkaian bunyi yang sarat makna atau teks tulis. Yang perlu digarisbawahi disini, bahwa proses komunikasi dalam konteks ini adalah yang melibatkan komponen visual, vokal, dan auditori yang dimiliki manusia, dan bukan yang berbentuk olah tubuh, mimikri, ekspresi wajah, dll. Jadi lambaian tangan, dehem, batuk, tepuk tangan, dan yang serupa tidak termasuk dalam bahasa meskipun bentuk-bentuk ekspresi tersebut mengandung pesan atau makna linguistik.
Sejarah perkembangan ilmu bahasa diawali dengan kelahiran aliran tata bahasa tradisional ketika para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Salah seorang ahli bahasa bemama Dionysius Thrax (akhir abad 2 SM) merupakan orang pertama yang berhasil membuat aturan tata bahasa secara sistematis serta menambahkan kelas kata adverbia, partisipel, pronomina dan preposisi terhadap empat kelas kata yang sudah dibuat oleh kaum Stoic.
Pada perkembangan selanjutnya, ilmu bahasa bergerak maju. Masa tersebut populer disebut linguistik modern, yang terbagi kedalam dua masa yaitu linguistik abad 19 dan abad 20.
Ciri yang menonjol dari linguistik abad 19 adalah historis komparatif sebagai bidang utama penelitian. Yang diteliti tentu saja adalah hubungan kekerabatan antar bahasa-bahasa di dunia dan unsur bahasa yang diteliti tidak dihubungkan dengan unsur lainnya, misalnya penelitian tentang kata tidak dihubungkan dengan frase atau kalimat (pola penelitiannya bersifat parsial).
Sedangkan ciri khas perkembangan linguistik abad 20 adalah pendekatan penelitian yang bersifat strukturalistis (akhir abad 20 lebih bersifat fungsionalis), pengelompokkan tata bahasa berdasarkan atas mikrolinguistik, makro linguistik, dan sejarah linguistik, perkembangan pesat penelitian antardisiplin, dan prinsip penelitiannya yang deskriptif dan sinkronik.
Dari corak perkembangan disiplin ilmu linguistik diatas dapat diperoleh gambaran bahwa pola berpikir yang digunakan cenderung mengalami perubahan dari masa ke masa.
Hal tersebut dapat dilihat pada corak perkembangan linguistik abad 19 yang memfokuskan kajian dan penelitian pada bahasa-bahasa berkerabat untuk membuktikan adanya relasi historis bahasa-bahasa tersebut. Pada proses ini, ilmuwan bahasa melakukan langkah atau prosedur ilmiah dengan merumuskan hipotesa, membuktikan rumusan hippotesa tersebut dengan berbagai evidensi linguistik. Dengan kata lain, para ahli bahasa mengajukan satu asumsi atau hipotesa adanya kekerabatan antar sekelompok bahasa, untuk membuktikan kebenarannya, evidensi linguistik seperti bukti kemiripan fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikon serta latar belakang historis digunakan sebagai bahan analisis sebagai upaya pembuktian hipotesa. Jika kemiripan struktur bahasa tersebut berbanding lurus dengan relasi historis yang dimiliki sekelompok bahasa tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sekelompok bahasa tersebut berkerabat dan berasal dari satu induk bahasa yang sama. Dari langkah ilmiah tersebut, dapat diamati bahwa ilmu bahasa pada masa itu cenderung memakai pola penalaran induktif.
Perkembangan linguistik abad 20 memiliki corak yang sedikit berbeda. Ilmuwan abad 19 telah bekerja keras memformulasikan teori-teori baru dari beragam fenomena bahasa. Jika pada abad sebelumnya, ilmu bahasa diramaikan oleh kajian diakronis maka abad 20 diwarnai oleh penelitian bergenre sinkronik dimana struktur internal bahasa menjadi titik tolak pengembangan ilmu bahasa.
Dari realitas tersebut, dapat diamati bahwa logika berpikir yang berkembang adalah logika penalaran deduktif meski tidak dapat dipungkiri penalaran induktif masih digunakan.
Dari berbagai ulasan seputar bahasa, ilmu bahasa, dan logika berpikir yang digunakan dapat disimpulkan bahwa dua ragam logika berpikir yaitu deduktif dan induktif tidak dapat dilepaskan dari kegiatan ilmiah sebuah disiplin ilmu, meskipun keduanya memiliki pola yang berbeda. Dapat dijumpai penggabungan kedua logika berpikir tersebut dalam satu proses ilmiah. Hal ini dianggap sah dan wajar dalam dinamika berpikir dan dialektika ilmu pengetahuan.

1.5. Kesimpulan
Berpikir ilmiah menjadi titik tolak karya ilmiah dan perkembangan kegiatan ilmiah yang didalamnya memuat proses berpikir ilmiah. Dalam proses berpikir ilmiah, terdapat dua logika yang memiliki pola berbeda, yaitu logika berpikir deduktif dan induktif.
Berpikir deduktif didasarkan pada logika deduktif dimana kesimpulan ditarik dari pernyataan umum menuju pernyataan khusus menggunakan penalaran. Hasil berpikir deduktif dapat digunakan untuk menyusun hipotesis untuk selanjutnya diadakan pembuktian atas hipotesis melalui analisa dan penalaran.
Berpikir induktif merupakan satu langkah pengambilan kesimpulan yang dimulai dari fakta khusus menuju kesimpulan bersifat umum. Langkah berpikir induktif dimulai dari pengamatan lapangan, penyusunan hasil pengamatan, pengujian data, dan penarikan kesimpulann. Pengujian hipotesis tidak melalui pengkajian teori akan tetapi melalui kajian data lapangan.
Gabungan kedua cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah yang pada akhirnya ditujukan untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah. Berpikir ilmiah adalah gabungan berpikir deduktif dan induktif.
Dalam perspektif disiplin ilmu bahasa atau linguistik, kedua logika berpikir tersebut secara aktif diterapkan berdasarkan pada objek dan tujuan kajian. Jika tujuan suatu kajian bahasa adalah deskriptif maka logika berpikir induktif yang digunakan, akan tetapi jika diarahkan untuk kajian yang bersifat preskriptif maka logika deduktif yang diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Gramedia: Jakarta
Bakry, Hasbullah. 1981. Sistematika Filsafat. Jakarta: Wijaya
Crystal, David. 1982. What is Linguistics?. UK: Edward Arnold
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa. Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Kasmadi, Hartono, dkk.1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press
Kattsoff, Louis O.. 1986. Pengantar Filsafat. Tiara Yogyakarta: Wacana
Kusumah, Yaya S.. 1986. Logika Matematika Elementer. Bandung
Puswanti, M. Ngalim. 1992. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Suriasumantri, Jujun S. 1988. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
______, 1997. Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
The New Oxford Dictionary of English. 2003. UK: Oxford University Press
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 1996. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Blog ini

Blog ini lahir karena motivasi penulis untuk mengabadikan beragam dokumentasi pribadi, baik berupa tulisan maupun gambar. Pengalaman pendidikan penulis di bidang bahasa dan budaya memberikan warna tersendiri dalam pemilihan tema, koleksi tautan, dan topikalisasi tulisan. Selamat Membaca dan Turut Memberi Warna

  © Blogger template Starry by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP