Jumat, 13 Maret 2009

Struktur Sosial Masyarakat Aceh Tamiang

1.1. Latar Belakang
Sejak para ilmuwan merumuskan beberapa kriteria keilmiahan suatu bidang ilmu, yaitu diantaranya logis, tersusun sistematis, empirik, dan objektif, timbul kontroversi mengenai status ilmiah disiplin ilmu sosiologi mengingat pada awalnya, objek bidang ilmu ini dianggap spekulatif dan tidak mudah untuk digeneralisasi. Namun, para ilmuwan abad 18-19 berhasil melembagakan disiplin ilmu sosiologi sebagai bagian dari disiplin akademis dan menjadi satu disiplin ilmu yang mandiri. Penetapan ini berdasar pada kemampuan sosiologi dalam memenuhi unsur-unsur pengetahuan, yaitu empiris atau observable, teoritis, kumulatif, dan nonetis atau tidak menilai baik-buruk suatu fakta sosial (Soekanto. 2007: 13).
Sebagai sebuah disiplin ilmu, tentu saja sosiologi memiliki sebuah objek kajian, yaitu masyarakat. Hal tersebut terefleksi dari fungsi dan tugas utama sosiologi sebagai alat untuk mendeskripsikan suatu fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat (Usman. 2004: 16). Sehingga dapat dipahami bahwa masyarakat sebagai penghasil fenomena sosial menjadi tema sentral dalam kajian-kajian sosiologi.
Perbincangan mengenai masyarakat tidak terlepas dari perihal interaksi karena hal tersebut merupakan faktor utama timbulnya masyarakat. Secara sederhana, interaksi merupakan suatu peristiwa sosial dimana orang perorang bertemu dan bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan, baik tujuan individu maupun kolegial (Soekanto. 2007: 55). Pertemuan orang perorang adalah satu wujud watak dasar manusia yang memiliki keterbatasan sehingga memerlukan orang lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.
Interaksi sosial yang sudah menjadi keniscayaan dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat. Hal itu disebabkan oleh adanya proses identifikasi dalam setiap proses interaksi sosial. Kontak sosial dan komunikasi sebagai syarat utama sebuah interaksi menciptakan kecenderungan-kecenderungan alamiah untuk mengelompokkan diri.
Secara lebih jelas, Usman (2004: 116) mendeskripsikan kelompok sosial sebagai setiap kumpulan orang yang berinteraksi secara sadar berdasarkan norma tertentu. Proses internalisasi suatu norma dalam kehidupan masyarakat melalui beberapa proses, diantaranya enkulturasi yaitu pengenalan norma di masyarakat, proses sosialisasi yaitu pembelajaran terhadap norma masyarakat, internalisasi yaitu pelesapan norma dalam pribadi individu, asimilasi yaitu pembauran dua budaya sehingga menciptakan satu budaya baru, dan akomodasi yaitu usaha pencegahan terhadap konflik sosial. Melalui proses-proses tersebut, manusia mampu menciptakan stabilitas kehidupan bermasyarakat yang mapan.
Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa norma merupakan unsur yang fundamental dalam suatu kelompok sosial. Koentjaraningrat dalam Soekanto(2007: 171) menegaskan bahwa norma mutlak diperlukan dalam sebuah sistem masyarakat karena perlu adanya tata aturan khusus untuk mengatur manusia dalam proses pemenuhan kebutuhan individu maupun kolektif demi kelestarian kehidupan manusia itu sendiri. Norma-norma dipelihara oleh masyarakat yang merumuskannya. Oleh karena itu, seyogyanya terdapat sebuah lembaga masyarakat yang secara khusus memiliki wewenang untuk merumuskan proses pelaksanaan dan pengawasan norma tersebut.
Bentuk norma yang terkandung dalam sistem sosial masyarakat bergantung pada corak budaya masyarakat tersebut. Dalam hal ini, Bangsa Indonesia dinilai sebagai bangsa yang memiliki tingkat pluralitas budaya tinggi. Setiap daerah mempunyai budaya dan adat istiadat yang berbeda, sehingga corak sistem masyarakatnya pun tidak sama. Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu daerah yang memiliki khazanah budaya dan struktur sosial masyarakat yang menarik untuk diamati. Berdasarkan pengamatan beberapa pengamat sosial, eksistensi masyarakat adat perlahan-lahan terkikis dengan penerapan sistem yang dikembangkan pemerintah melalui penyeragaman struktur masyarakat menjadi rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), kelurahan, kecamatan, kabupaten, dan provinsi.
Struktur lapisan masyarakat Aceh yang secara historis dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu umara dan ulama tentu saja tidak selaras dengan sistem sentral yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Umara merupakan perwujudan pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam satu unit wilayah kekuasaan, sedangkan ulama adalah pemimpin yang mengurusi masalah agama atau hukom atau syariah islam. Kedua golongan masyarakat tersebut memegang peranan penting dalam struktur masyarakat Aceh yang merupakan wujud kearifan lokal masyarakat setempat.
Berangkat dari fenomena sosial tersebut, penulis tertarik untuk mengamati dan menyajikan ulasan singkat mengenai khazanah kearifan lokal masyarakat Aceh Tamiang khususnya sistem struktur masyarakatnya sekaligus pola kepemimpinan ditiap-tiap struktur.
1.2. Teori Fungsionalisme Struktural dan Keterkaitannya dengan Teori Sosial lainnya. Sebuah Ulasan Singkat
A. Talcott Parsons dan Teori Fungsionalisme Struktural
Tradisi pemikiran para fungsionalis barat mengenai teori fungsionalisme struktural berangkat dari analogi sistem biologi yang melihat jasad atau badan sebagai sebuah sistem. Karena merupakan sebuah sistem, badan terdiri dari kesatuan komponen-komponen pembentuk yang bekerjasama dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pemeliharaan diri. Berdasarkan analogi tersebut, para ahli mengamati masyarakat sebagai sebuah rangkaian komponen beserta fungsinya masing-masing yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Adalah Talcott Parson, seorang pakar sosiologi kelahiran Colorado pada tahun 1902, yang mengawali pengembangan teori fungsionalisme struktural. Publikasi spektakuler yang dimiliki Parson salah satunya adalah The Structure of Social Action (1937). Dari langkah awal inilah, Parson menelurkan teori tindakan yang menganggap tindakan manusia bersifat voluntary, intentional, dan symbolic.
Kemudian ia mengemukakan bahwa pada dasarnya suatu sistem tindakan umum terdiri dari tiga sistem yang saling berkaitan; sistem sosial, personalitas, dan kultural. Dari sistem sosial inilah, Parson melihat adanya struktur-struktur dalam masyarakat yang memiliki fungsi masing-masing. Dalam pengembangan ide tersebut, Parson banyak berkiblat pada hasil-hasil pemikiran pendahulunya, diantaranya Durkheim, Malinowski, Weber, dan Pareto (Beilharz. 2005: 291-294).

B. Sistem Sosial
Sekali lagi, dapat digarisbawahi bahwa sistem sosial yang dirumuskan oleh Parsons dan beberapa sosiolog lainnya menekankan sifat interrelationship atau saling keterhubungan dan saling ketergantungan antar unsur-unsur struktural dalam kehidupan sosial. Dalam proses interaksi sosial anggota masyarakat melaksanakan hubungan timbal balik dengan cara menyesuaikan diri.
Sistem sosial terdiri atas aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi satu dengan yang lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat, kebiasaan atau norma yang berlaku.Sistem sosial ini bersifat nyata atau konkret (Usman. 2004: 63). Beberapa sistem sosial yang ada dalam masyarakat adalah;
1) Sistem mata pencaharian
2) Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
3) Bahasa
4) Sistem kepercayaan
Ulasan mengenai sistem sosial merupakan pijakan dasar dalam memahami institusi sosial yang tumbuh dan berkembang dalam sistem masyarakat. Meskipun belum ditemukan istilah yang tepat untuk merefleksikan isi frase kata sosial institution¸ namun beberapa sosiolog di Indonesia sepakat untuk menggunakan kata institusi sosial atau lembaga kemasyarakatan untuk menggambarkannya.
Telah disinggung dalam bab sebelumnya bahwa institusi sosial merupakan sesuatu yang timbul akibat tindakan manusia yang memiliki kecenderungan untuk membentuk kelompok-kelompok atau koloni sesuai dengan latarbelakang sosial dan kebutuhan masing-masing. Agar ketertiban pelaksanaan kehidupan bermasyarakat antar kelompok-kelompok tersebut tercipta maka diperlukan tata aturan atau yang populer disebut dengan norma.

C. Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan
Dalam satu sistem kemasyarakatan dimana individu berkumpul, bertemu, dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan hidup, keberadaan seorang pemimpin menjadi suatu keniscayaan. Sebagaimana telah disinggung pada subbab sebelumnya bahwa kehidupan bermasyarakat di atur oleh norma atau tata tertib. Agar norma tersebut berjalan sesuatu aturan yang berlaku dan ditaati atau dilaksanakan oleh anggota masyarakat, maka diperlukan satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengadakan pengawasan dan tinjauan. Seyogyanya pula suatu lembaga masyarakat memiliki pemimpin yang memimpin pelaksanaan sistem operasional norma masyarakat. Maka ulasan singkat mengenai kekuasaan, wewenang ,dan kepemimpin dirasa perlu disajikan sebelum memotret sistem organisasi sosial masyarakat Aceh Tamiang.
Dalam disiplin ilmu sosiologi, kekuasaan tidak dipandang sebagai sesuatu yang baik dan buruk akan tetapi kekuasaan merupakan piranti atau unsur penting dalam masyarakat. Secara sederhana, kekuasaan digambarkan sebagai suatu kemampuan untuk memengaruhi orang lain (Soekanto. 2007: 227). Kekuasan umumnya dijelmakan pada diri seseorang yang kemudian lazim disebut pemimpin.
Kekuasaan bersumber pada beberapa aspek kehidupan sosial dan diselaraskan dengan kegunaannya masing-masing, sebagiamana berikut: kekuasaan yang bersumber pada militerisme memiliki kegunaan sebagai pengendali kekerasa, yang bersumber pada ekonomi berguna untuk mengendalikan tanah, buruh, kekayaa, dan produksi, yang bersumber pada politik berguna untuk mengambil keputusan, yang bersumber pada hukum berguna untuk mempertahankan interaksi, yang bersumber pada tradisi berguna sebagai sistem kepercayaan, yang bersumber pada ideologi berguna sebagai pandangan hidup, dan yang bersumber dari diversionary power berguna untuk kepentingan rekreatif (Soekanto. 2007: 232).
Sedikit berbeda dengan kekuasaan, wewenang merupakan suatu hak untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan, dan menyelesaikan permasalahan (Maclver dalam Soekanto. 2007: 242). Dari definisi tersebut, wewenang dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan, akan tetapi kekuasaan harus mendapatkan pengesahan dari masyarakat terlebih dahulu untuk dapat menjalankan kewenangan.
Menurut pandangan Max Weber dalam Soekanto (2007: 244-245), terdapat 3 bentuk wewenang, yaitu:
- wewenang kharismatis : wewenang yang didasarkan pada suatu kemampuan khusus yang dimiliki seseorang (seringkali bersifat irasional),
- wewenang tradisional : wewenang yang dimiliki seseorang atau kelompok karena kekuasaan yang telah melembaga dan melebur dalam masyarakat.
- wewenang rasional : wewenang yang didasarkan pada sistem hukum yang berlaku.
Selain bentuk-bentuk wewenang menurut pemikiran Weber diatas, beberapa ahli juga merumuskan beberapa bentuk lainnya, akan tetapi hanya wewenang resmi dan tidak resmi sebagaimana dikemukakan oleh Robert A. Nisbet dalam The Social Bond, An Introduction to The Study of Society yang akan disinggung secara singkat oleh penulis karena hal ini berkaitan dengan sistem organisasi masyarakat yang diangkat sebagai tema sentral tulisan ini. Wewenang resmi bersifat sistematis dan rasional serta memiliki aturan tata tertib yang tegas dan tetap sedangkan wewenang tidak resmi diterapkan tidak sistematis tetapi cenderung spontan dan situasional. Wewenang tidak resmi dapat diamati dari sikap seorang bapak sebagai kepala rumah tangga.
Kekuasaan dan wewenang bermuara pada sistem kepemimpinan. Kepemimpinan yang bersifat resmi biasanya dijelmakan dalam suatu jabatan sehingga pelaksanaannya dilandaskan pada peraturan-peraturan resmi pula. Lain halnya dengan kepemimpinan tak resmi yang didasarkan pada pengakuan dan kepercayaan masyarakat, meskipun tetap harus berpedoman pada peraturan atau undang-undang yang berlaku (Soekanto. 2007: 250-251).
Keberadaan pemimpin dalam suatu sistem masyarakat sangat diperlukan utamanya untuk mengatur pelaksanaan norma masyarakat agar tercipta interaksi sosial yang dinamis. Berdasarkan konsepsi masyarakat tradisional, seorang pemimpin harus memiliki sifat Ing ngarsa sung tulada (Di muka memberi teladan), Ing madya mangun karsa (Di tengah membangun semangat), dan Tut wuri handayani (Dari belakang memberi dorongan). Pengejewantahan dari konsepsi tersebut dimasa kini adalah bahwa pemimpin harus memiliki idealisme kuat, mewujudkan keinginan masyarakat, dan mengikuti perkembangan masyarakat. Berangkat dari prinsip tersebut, maka sistem kepemimpinan masyarakat disebut ”pamong praja/pamong desa” yang berarti membimbing masyarakat.
Soekanto (2007: 257) juga merumuskan beberapa pola kepemimpinan diterapkan dalam masyarakat, yaitu melalui pola otoriter, demokratis, dan bebas. Pola-pola tersebut dilaksanakan sesuai dengan karakteristik masyarakatnya, misalnya pola atau cara demokratis diterapkan pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan pola otoriter biasanya diterapkan pada masyarakat heterogen.
Pemahaman mengenai beberapa konsep dasar tentang kekuasaan, wewenang, dan kepemimpinan diatas membantu penelusuran dan pemahaman kita terhadap sistem organisasi sosial masyarakat yang hidup dan berkembang pada masyarakat Aceh Tamiang.

1.3. Gambaran Sosial Masyarakat Aceh Tamiang
Dalam subbab ini, penulis akan memberikan gambaran singkat profil daerah dan masyarakat Aceh Tamiang yang mencakup letak geografis dan potensi daerah, sejarah singkat, bentuk pemerintahan, dan khazanah sosial budaya masyarakat lokal berdasarkan beberapa sumber, salah satunya adalah data BPS Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, situs resmi Provinsi NAD, lembaga konservasi budaya aceh, dan beberapa sumber terkait.
Secara geografis, Kabupaten Aceh Tamiang terletak di 03 53 - 04 32' LU sampai 97 44'- 98 18' BT dengan ibukota Karang Baru dengan luas wilayah keseluruhan 1.939 km. Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Kota Langsa dan Selat malaka di sebelah utara, Kabupaten Gayo lues dan provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Utara di sebelah timur, serta Kabupaten Aceh Timur di sebelah barat ini merupakan kawasan yang kaya akan minyak dan gas serta menjadi salah satu sentra perkebunan kelapa sawit di NAD.
Dari sektor pertanian, Kabupaten Aceh Tamiang penghasil tanaman bahan pangan seperti padi, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan dengan luas lahan pertanian produktif mencapai 210.279 hektar. Sektor perkebunan yang dibudidayakan diantaranya karet, kelapa sawit, kopi, kakao, dan jeruk dengan luas areal perkebunan mencapai 101.179 hektar yang terbagi dalam perkebunan rakyat 23.392 hektar dan perkebunan swasta 77.787 hektar Sedangkan dari sektor kelautan, kecamatan Manyak payed, Bendahara dan Seruway merupakan penghasil perikanan laut, seperti udang windu, udang putih, ikan tongkol, selar, hiu, bawal, kakap, tengiri, kerapu, dan kepiting.
Sejarah Aceh Tamiang diperkirakan dimulai pada abad ke-12 dengan berdirinya kerajaan di bawah pimpinan Raja Muda Sedia (1330–1336). Dalam perkembangannya, kerajaan dengan nama Kerajaan Tamiang tersebut mendapat Cap Sikureung dan hak Tumpang Gantung dari Sultan Aceh Darussalam atas wilayah Negeri Karang dan Negeri Kejuruan Muda. Pada tahun 1908 terjadi perubahan status No 112 Tahun 1878, yakni wilayah Tamiang dimasukkan ke dalam Geuvernement Aceh en Onderhorigheden. Artinya, wilayah tersebut berada di bawah status hukum Onderafdeling. Bukti-bukti sejarah yang menunjukkan keberadaan Kerajaan Tamiang adalah Prasasti Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang mencatat negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakretagama menyebut "Tumihang", serta benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang.
Berdasarkan beberapa bukti sejarah tersebut maka nama Tamiang digunakan sebagai usulan nama bagi pemekaran status wilayah Pembantu Bupati Aceh Timur Wilayah III yang meliputi wilayah bekas Kewedanaan Tamiang. Terbentuknya Kabupaten Aceh Tamiang ini berdasarkan UU No 4 Tahun 2002 tertanggal 10 April 2002 dan resmi sebagai kabupaten otonom pada 2 Juli 2002.
Kabupaten yang mempunyai semboyan Kaseh pape setie mati yang berarti susah senang tetap bersatu sampai mati ini di pimpin oleh Bupati Drs. H. Abdul Latief dan wakilnya H.Awaluddin.SH.MH sebagai hasil Pilkada masabakti 2007–2012. Aceh Tamiang terdiri dari 12 kecamatan, yakni: Bendahara, Karang Baru, Kejuruan Muda, Kota Kuala Simpang, Manyak Payed, Rantau, Seruway, Tamiang Hulu, Bandar Pusaka, Banda Mulia, Tenggulun, dan Sekrak.
Dilihat dari corak budayanya, Aceh secara umum dan Aceh Tamiang secara khusus banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letaknya yang strategis. Sehingga tidak dipungkiri bahwa beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri.
Agama Islam merupakan agama yang mendominasi di wilayah Aceh secara keseluruhan oleh sebab itu Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah” yang mengandung arti "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki. Adat menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.
Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang. Sedangkan orang Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang, yang kebanyakan kosa katanya mirip dengan bahasa melayu.

1.4. Penyelenggaraan Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Aceh Tamiang
Telah dikemukakan diatas bahwa masyarakat yang terdiri dari sekumpulan individu akan mencapai ketertiban hidup jika terdapat norma atau tata aturan yang dibuat dan dilaksanakan oleh sekumpulan individu tersebut. Karena jika tidak demikian, maka orang-perorang akan saling melanggar batas hak dan kewajiban orang lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Dalam hal ini, wujud norma menjadi hasil karya yang tidak hanya monumental akan tetapi juga sangat fundamental dalam kehidupan manusia.
Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menjunjung tinggi adat istiadat masyarakatnya. Hal ini tercermin dari masih berfungsinya institusi-institusi adat di tingkat gampong. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Masyarakat Aceh Tamiang adalah salah satu kelompok masyarakat di Aceh yang menjadi bukti lestarinya sistem adat tersebut.
Secara umum, dalam sistem adat masyarakat Aceh, organisasi sosial sebagai bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (masjid/madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang imeum mukim. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat). Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat,Ureueng Aceh (sebutan untuk orang Aceh) selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Struktur organisasi sosial tersebut secara sederhana diilustrasikan sebagai berikut:
Mukim
Gampong
Gampong
Gampong
Lorong
Lorong
Lorong
Lorong
Lorong
Lorong

Dalam sistem sosial masyarakat Aceh Tamiang, gampong dan mukim masih lestari hingga kini. Oleh karena itu perlu diulas secara khusus keberadaan kedua lembaga sosial tersebut.
a) Gampong merupakan kesatuan masyarakat hukum sebagai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Berdasarkan Qanun No.5 tahun 2003, keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif gampong. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, ia memegang fungsi Mono Trias Function (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang dibantu oleh Tuha Peut (sejenis LMD/LKMD) dan Imeum Meunasah, serta sekretaris gampong sebagai perangkat gampong (Ismail. 2002: 34).
Gampong memiliki sub struktur organisasi yang terdiri atas Perangkat/struktur lembaga adat, Pemangku adat/Fungsionaris adat, Hukum adat/norma, kaedah, Adat istiadat/reusam dalam berbagai implimentasi, seperti seremonial, seni penataan, seni ekpresi, dan Lembaga musyawarah adat/adat meusapat/pengadilan adat.
Khususnya dalam urusan ekonomi kesejahteraan rakyat, Pemerintahan gampong memiliki beberapa lembaga, yaitu :
- Keujrun Blang adalah ketua adat yang membantu pimpinan gampong dalam urusan pengaturan irigasi untuk pertanian dan sengketa sawah.
- Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang pengaturan penangkapan ikan di laut (seungketa laot).
- Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan, perladangan, dan perkebunan pada wilayah gunung dan lembah.
- Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan pajak retribusi pasar.
- Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan tambatan kapal atau perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau.
Meunasah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gampong dalam sistem masyarakat adat Aceh, tidak terkecuali Aceh Tamiang. Lembaga tersebut dijadikan identitas keacehan yang telah memberikan kontribusi dalam membangun pola sumberdaya masyarakat berfungsi sebagai organisasi sosial yang memiliki muatan nilai-nilai aspiratif, inspiratif, energis, dan islami. Secara lebih rinci fungsi meunasah dapat dirumuskan sebagai tempat ibadah/shalat berjamaah, dakwah dan diskusi, musyawarah, penyelesaian sengketa, pengembangan kreasi seni, pembinaan dan posko generasi muda, forum asah terampil dan olahraga, pusat pemerintahan gampong. Dari fungsi tersebut, disimpulkan bahwa fungsi meunasah menjadi titik sentral pembangunan masyarakat.
b) Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum dalam provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang memiliki batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berkedudukan langsung di bawah camat yang dipimpin oleh imeum mukim. Berdasarkan Qanun No.4 tahun 2003, Kepala Pemerintahan Mukim adalah Imeum Mukim dengan dibantu oleh imeum chik, tuha peut mukim, sekretaris mukim, Majelis Adat Mukim dan Majelis Musyawarah Mukim (www.acehinstitute.org.id diakses pada 30 Desember 2008).

Lembaga-lembaga adat itu sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh, karena derasnya arus globalisasi dan westernisasi serta penerapan sistem sentral yang memberikan perubahan pada peradaban masyarakat Aceh. Padahal, jika lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampong, kampung tersebut akan tetap kokoh seperti jayanya masa-masa kesultanan Aceh.
Lahirnya UU Nomor 11 tahun 2006 memperlihatkan pemerintahIndonesia telah mulai berpihak kepada masyarakat Aceh dengan mulai diakuinya keberadaan mukim dan gampong serta lembaga adat lainnya. Dijelaskan dalam bab XIII pasal 98, bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
Kabupaten
Kecamatan
Mukim
Gampong
Lorong
Lorong
Lorong
Lorong
Gampong
Gampong Diagram berikut memberikan gambaran struktur sosial masyarakat Aceh secara umum.
Diagram dibawah ini memberikan penjelasan lebih rinci struktur sosial masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang dilengkapi nama kecamatan, mukim, gampong, dan lorong. Penjabaran hirarki struktur sosial secara lengkap terdapat pada kecamatan Bendahara saja, hal ini dilakukan hanya untuk keperluan penyederhanaan dan bahan ilustrasi saja.
Aceh Tamiang
Mayak Payed
Bendahara
Karang Baru
Seruway
Kota Kuala Simpang
Kejuruan Muda
Tamiang Hulu
Rantau
Mesjid
Bandar Baru
Khalifah
Tengku Tainggi
Tempok Teungoh
Upah Hulu
Bendahara Hilir
Upah
Perkebunan Upah
Matang Teupah
Seuneubok Dalam Upah
Lorong 1
Lorong 2
Lorong 3
Lorong 4
Kesimpulan
Kearifan lokal masyarakat merupakan suatu warisan budaya yang tak ternilai harganya sehingga pelestariannya menjadi sebuah keharusan dan tugas bersama. Struktur sosial masyarakat adalah salah satu wujud warisan budaya yang tentu saja berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Aceh Tamiang sebagai salah satu daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyimpan satu khazanah budaya khususnya yang terkait dengan kehidupan sosial masyarakat. Keselarasan pola kepemimpinan antara ulama dan umara dalam menjalankan sistem sosial kemasyarakatan seyogyanya dijaga kelestariannya.
Dalam struktur sosial masyarakat Aceh Tamiang Kabupaten Aceh Tamiang, bentuk kesatuan hidup terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Setiap gampong memiliki sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang imeum mukim. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Secara yuridis, telah ada peraturan daerah yang secara khusus mengakui eksistensi gampong dan mukim dalam bentuk Qanun No.4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim dan Qanun No.5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong. Kedua Qanun ini memberi wewenang kepada gampong dan mukim untuk menjalankan tugas pokok otonomi, dengan kewajiban menjalankan tugas pemerintahan, pelaksanaan syariat Islam, penegakan adat/adat istiadat (tugas hakim) dan menyelenggarakan Anggaran Pendapatan dan Belanja sendiri. Kedua lembaga tersebut juga dapat menjalankan peran untuk membina dan mendayagunakan adat istiadat dan syariat sebagai aset kebudayaan Aceh.
DAFTAR PUSTAKA
Beilharz, Peter. 2005. Teori-teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ismail, Baruzzaman. 2002. Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh. Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah
______, Kedudukan Meunasah dan Mesjid dalam Sistem Sosial Masyarakat Aceh (online), (www.acehinstitute.org.id diakses pada 30 Desember 2008)
Info Budaya Indonesia (online), (www.tamanmini.com diakses pada 29 Desember 2008)
Kabupaten Aceh Tamiang (online), (http://www.bappedatamiang.go.id diakses pada 26 Desember 2008)
Kabupaten Aceh Tamiang (online), (http://www.nad.go.id diakses pada 25 Desember 2008)
Sejarah Kebudayaan Aceh (online), (http://www.acehforum.or.id/wikipedia-nanggroe-aceh.html diakses pada 25 Desember 2008)
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi. Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Usman, Sunyoto. 2004. Sosiologi. Sejarah, Teori, dan Metodologi. Yogyakarta: CIReD
Usman, A.Rani. 2003. Sejarah Peradaban Aceh. Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi, dan Konflik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Blog ini

Blog ini lahir karena motivasi penulis untuk mengabadikan beragam dokumentasi pribadi, baik berupa tulisan maupun gambar. Pengalaman pendidikan penulis di bidang bahasa dan budaya memberikan warna tersendiri dalam pemilihan tema, koleksi tautan, dan topikalisasi tulisan. Selamat Membaca dan Turut Memberi Warna

  © Blogger template Starry by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP