Riwayat Kronologis Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia (Pijinisasi ataukah Kreolisasi?)
Selama 3 abad, hampir seluruh daerah di nusantara berjuang melawan kolonialisme baik oleh Portugis, Belanda, maupun Sekutu. Selama itu pula bahasa bangsa-bangsa tersebut berakulturasi atau bercampur sehingga memberikan perubahan bagi corak Bahasa Melayu.
Sebagaimana bangsa-bangsa kolonialis lain, Belanda menempatkan bahasanya sebagai bahasa yang superior diantara bahasa-bahasa nusantara lainnya. Sutan Takdir Alisjahbana (1988: 21-22) menyatakan bahwa Bahasa Belanda yang tidak hanya digunakan di kantor atetapi juga dipelajari di sekolah-sekolah dipandang sebagai bahasa yang penting dan harus dipelajari oleh orang pribumi.
Beberapa alasan politis penggunaan Bahasa Belanda, diantaranya sebagai berikut;
Merupakan propaganda untuk menyebarkan budaya bangsa Belanda, sehingga akan semakin mengekalkan hubungannya dengan negeri ini.
Mengukuhkan bahasa tersebut sebagai bahasa tingkat tinggi karena digunakan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, di kantor-kantor pemerintahan, dan untuk mendapatkan jabatan tinggi
Mengangkat derajat dan nama negeri Belanda di negeri asing.
Mengaburkan identitas negeri ini dengan semakin populernya Bahasa Belanda (Alisjahbana. 1988: 27-30).
Dalam perjalanannya, beberapa cendekiawan pribumi mulai menyadari pentingnya pembakuan suatu bahasa nasional yang sesuai dengan ciri khas rakyat nusantara. Bahasa Belandan dianggap tidak memenuhi kebutuhan dasar tersebut karena bahasa ini sulit dipelajari oleh rakyat awan yang tidak mendapat kesempatan pendidikan. Akibatnya aspirasi rakyat dari golongan bawah tidak dapat terkomunikasikan dengan baik (Alisjahbana. 1988: 25). Rakyat nusantara yang dipelopori oleh golongan terpelajar menyadari bahwa bahasa pemersatu mereka bukanlah Bahasa Belanda melainkan Bahasa Melayu yang telah bertahun-tahun dituturkan oleh hampir seluruh masyarakat nusantara.
Keganjilan ini pun ternyata dirasakan oleh Van der Chijs, pegawai pemerintahan Belanda, yang menolak dengan keras penggunaan Bahasa Belanda sebagai bahasa perhubungan karena menurutnya sangat tidak mungkin memaksakan pemakaian bahasa baru dalam masyarakat yang telah memiliki bahasa penghubung sendiri (Alisjahbana. 1988: 24). Tahun 1908, satu tonggak penting dalam sejarah kelahiran Bahasa Indonesia ketika pada kongres Budi Utomo, perwakilan anak negeri mengungkapkan kembali keresahan pemakaian Bahasa Belanda yang semakin tak terjangkau oleh rakyat. Bahasa Belanda hanya dapat dittuturkan oleh sebagian kecil rakyat nusantara dan hal tersebut akan semakin menjauhkan rakyat dari kebodohan. Hingga pergerakan demi pergerakan baik oleh golongan tua maupun golongan muda lahir yang memiliki antusiasme tinggi untuk menemukan solusi dari persoalan bahasa pemersatu yang cukup pelik menemukan titik terang bahwa Bahasa Melayu lah yang layak digunakan sebagai lingua franca.
Beberapa latar belakang pemilihan Bahasa Melayu, diantaranya; mudah dipahami, pendek dan tegas, tempat tuturan Bahasa Melayu merupakan tempat persinggahan yang strategis sehingga akan mendukung persebarannya, bahasa ini telah digunakan sebagai bahasa pertemuan antar etnis, dan penyebarannya yang terjadi secara alamiah (Alisjahbana. 1988: 35-36).
Tepatnya tanggal 28 Oktober 1928, bersamaan dengan Kongres Pemuda di Jakarta, diambil keputusan untuk menjadikan Bahasa Melayu yang telah di ubah namanya menjadi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional. Maka sudah jelas bahwa Bahasa Indonesia merupakan sambungan atau memiliki kekerabatan sangat erat dengan Bahasa Melayu (Alisjahbana. 1988: 37).
Bahasa Indonesia dan Kaitannya dengan Pijin dan Kreol
Dengan mengacu pada tinjauan teoritis tentang bahasa pijin dan kreol serta tinjauan sejarah perkembangan Bahasa Melayu hingga menjadi Bahasa Indonesia yang telah disahkan sebagai bahasa nasional, penulis dapat menggarisbawahi beberapa hal, yaitu bahwa Bahasa Indonesia yang kita gunakan saat ini sebagai bahasa pemersatu tak dapat dipungkiri memiliki kekerabatan sangat erat dengan Bahasa Melayu.
Sebagaimana telah tercantum diatas, Bahasa Melayu dituturkan oleh masyarakat nusantara sejak abad ke tujuh. Bahasa yang diturunkan dari rumpun Austronesia ini dipakai sebagai lingua franca atau bahasa pemersatu yang menghubungkan masyarakat multilingual diseluruh kepulauan nusantara. Sehingga tidak heran jika Bahasa melayu memiliki daerah persebaran yang sangat luas.
Kaitan Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia, dan lingua franca terlihat mudah untuk dijabarkan. Akan tetapi sesungguhnya diperlukan investigasi ilmiah yang tidak sederhana untuk melihat keterkaitan erat diantara ketiganya. Selain itu, dibutuhkan bukti-bukti otentik dari aspek-aspek kebahasaan sebagai penunjang adanya keterkaitan. Karena aspek-aspek kebahasaan bahasa Indonesia sangatlah komplek dan luas, maka penulis memiliki keterbatasan untuk menjabarkannya.
Begitupun untuk menjawab sebuah pernyataan ilmiah tentang apakah Bahasa Indonesia merupakan bahasa pijin atau kreol, atau bukan keduanya, diperlukan keberhatian-hatian serta analisis ilmiah. Agar jawaban yang dihasilkan adalah jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
David Crystal dalam bukunya The Cambridge Encylopedia of Language mencantumkan 100 bahasa pijin dan kreol di dunia ini berdasarkan investigasi Hancock (1971). Diantara 100 pijin dan kreol tersebut, bazaar malay atau Bahasa Melayu Pasar lah yang dianggap sebagai bahasa pijin (1992: 339). Bahasa tersebut memang digunakan secara luas di malaysia dan Indonesia, akan tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Bahasa Indonesia yang telah distandarisasikan saat ini diambil bukan dari Bahasa Melayu Pasar, akan tetapi Bahasa Melayu Riau (Collins. 1980: 4-5).
Maka telah jelas bahwa Bahasa Indonesia bukanlah bahasa pijin apalagi kreol berdasarkan penjelasan singkat diatas.
Kesimpulan
Makalah ini diarahkan untuk membahas bahasa pijin dan kreol dari perspektif teori serta relevansinya dengan Bahasa Indonesia. Dan sesuai dengan deskripsi teoritik diatas, dapat disimpulkan bahwa;
Pijin merupakan sebuah fenomena kebahasaan yang timbul akibat dari konsekuensi alamiah percampuran manusia dengan latar belakang bahasa yang berbeda. Sehingga mereka membutuhkan auxilary language atau bahasa bantu untuk memudahkan mereka dalam berkomunikasi. Dengan kata lain bahasa pijin muncul dari kebutuhan orang-orang yang berbeda bahasa untuk memiliki bahasa persatuan yang saling dipahami satu sama lain. Bahasa pijin berupa simplifikasi dari bahasa-bahasa masyarakat multilingual yang mengadakan kontak bahasa.
Sedangkan kreol merupakan bahasa pijin yang telah dijadikan sebagai bahasa ibu. Dengan kata lain, kreol adalah bahasa normal sebagaimana bahasa-bahasa lain, maka kreol memiliki penutur asli tetapi tidak serupa dengan bahasa-bahasa standar lain. Bahasa kreol ialah kebalikan dari pijin. Jika pijin adalah penyederhanaan bahasa maka kreol adalah pengembangan, elaborasi, dan perluasan bahasa.
Untuk menyimpulkan apakah Bahasa Indonesia termasuk bahasa pijin atau kreol, perlu kiranya menyertakan penelusuran sejarah Bahasa Melayu, karena seperti dinyatakan oleh beberapa ahli bahasa dan sejarah bahwa penetapan Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional sebenarnya hanya sebuah formalitas saja sebab sejak lama bahasa tersebut menjadi bahasa pergaulan dan bahasa penghubung antar etnis utamanya dibidang perdagangan.
Itu berarti bahwa kita harus melihat dari manakah Bahasa Indonesia diambil. Menurut Collins, Bahasa Indonesia diambil dari Bahasa Melayu Riau sedangkan yang masuk dalam catatan ilmiah Hancock (1971) yang dikutip oleh David Crystal dalam bukunya The Cambridge Encylopedia of Language, bazaar malay atau Bahasa Melayu Pasar lah yang dianggap sebagai bahasa pijin.
Meski untuk menjawab sebuah pernyataan ilmiah tentang apakah Bahasa Indonesia merupakan bahasa pijin atau kreol, atau bukan keduanya, tidak hanya didasarkan pada pendapat seorang ahli bahasa melainkan juga investigas ilmiah dengan bukti-bukti otentik aspek-aspek kebahasaan. Hal tersebut dilakukan.
Maka dari seluruh uraian diatas, telah jelas bahwa Bahasa Indonesia bukanlah bahasa pijin apalagi kreol.
Sumber Acuan
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1988. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia. Dian Rakyat: Jakarta
Collins, James T. 1980. Ambonese Malay and Creolization Theor. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pelajaran Malaysia: Kuala Lumpur
__________, 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia. Sejarah Singkat, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Crystal, David. 1992. The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambrdige University Press: Great Britain
Homes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. Longman: London & New York
Ibrahim, Abdul Syukur. 1995. Sosiolinguistik. Bagian, Tujuan, Pendekatan, dan Problem. Usaha Nasional: Surabaya
Keraf, Gorys. 1991. Linguistik bandingan Historis. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
McMahon, April M.S. 1994. Understanding Language Change. Cambridge University Press: Great Britain
Masinambow dan Haenen. 2002. Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Moeliono, Anton M. 1989. Kembara bahasa. Kumpulan Karangan Tersebar. PT Gramedia: Jakarta
Thomason, Sarah G. 2001. Language Contact. An Introduction. Edinburgh University Press: Edinburgh
Todd, Loreto. 1974. Pidgin and Creoles. Routledge & Kegan Paul: London
Wardhaugh, Ronald. 1988. An Introduction to Sociolinguistics. Basil Blackwell: Oxford
0 komentar:
Posting Komentar