Pijin dan Kreol (Split dan Merger-nyaBahasa)
1. Pijin
Banyak para ahli yang telah menghasilkan pemikiran-pemikiran cemerlang terkait dengan konsep bahasa pijin dan kreol. Hal tersebut didasarkan pada fenomena alamiah manusia yang memiliki hasrat untuk mengembangkan diri. Aspek-aspek yang dikembangkan oleh manusia bisa bermacam-macam, baik dalam aspek kepercayaan, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Proses-proses pengembangan diri tersebut tentu memiliki imbas; imbas positif dan negatif dalam kehidupan manusia itu sendiri.
Aspek kehidupan manusia yang paling rentan terhadap perubahan adalah budaya, namun terkadang perubahan dan perkembangannya terjadi tanpa sadar. Salah satu contoh konkrit perkembangan budaya yang berjalan secara alami adalah bahasa. Sebagaimana telah dikutip secara singkat pada bab sebelumnya, bahwa pada mulanya hanya ada satu bahasa induk, lalu dalam prosesnya, bahasa tersebut berkembang menjadi ribuan bahkan jutaan. Perkembangan bahasa tersebut merupakan hasil dari pertemuan, percampuran serta kontak yang dilakukan satu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lainnya.
Lantas bagaimana konsep-konsep perubahan dan kemunculan bahasa baru kaitannya dengan prsebaran manusia dalam bingkai teori bahasa? Penulis akan memberi jabaran singkat sebagai berikut,
Todd (1974) mengemukakan sebab terjadinya pijinisasi sebagai akibat dari konsekuensi alamiah percampuran manusia dengan latar belakang bahasa yang berbeda. Sehingga mereka membutuhkan auxilary language atau bahasa bantu untuk memudahkan mereka dalam berkomunikasi. Senada dengan pendapat tersebut, Wardaugh (1988) menyebutkan bahwa pijin timbul dari kebutuhan orang-orang yang berbeda bahasa untuk memiliki bahasa persatuan yang saling dipahami satu sama lain. Sedangkan David Crystal (1992) menuliskan bahwa pijin merupakan produk kreatif yang berkembang secara alami akibat dari kesulitan manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lain yang notabene bertutur dalam bahasa yang berbeda. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar, manusia memiliki hasrat dan usaha kreatif untuk mengatasi masalah perbedaan bahasa yang dituturkan. Hal tersebut terjadi akibat tuntutan pemenuhan kebutuhan hidupnya masing-masing. Manusia dari kelompok yang berbeda bertemu di satu tempat tertentu untuk melakukan transaksi perdagangan, penyebaran agama, pembentukan koloni baru, dan penyelenggaraan aktivitas-aktivitas sosial lain. Karena mereka datang dari budaya yang memiliki bahasa yang berbeda, mereka membuat bahasa yang saling dimengerti satu sama lain.
Thomason (2001) mengungkapkan beberapa ciri bahasa pijin, diantaranya; digunakan sebagai bahasa kedua (bahasa alternatif), tata bahasanya berasal dari perpaduan beberapa tata bahasa bahasa yang melakukan kontak, dan memiliki ragam sintaksis yang terbatas. Holmes (1992) menambahkan bahwa bahasa pijin tidak memiliki status kebahasaan atau standarisasi sebagaimana dimiliki bahasa-bahasa lain yang telah berdiri secara independen. Sehingga terkadang bahasa pijin terlihat aneh dan unik. Dalam pendapat yang berbeda, Wardaugh (1988) menyatakan bahwa ketika tiga atau lebih bahasa bergabung dan hanya satu yang dominan, maka dua bahasa inferior tidak hanya harus menuturkan bahasa yang paling dominan akan tetapi juga saling bertutur dengan bahasa inferior lain, oleh karena itu para penutur bahasa tersebut cenderung melakukan simplifikasi baik dalam tataran tata bahasa, kosakata, maupun cara pelafalan.
Todd (1974) menggambarkan proses pijinisasi dalam beberapa fase, yaitu;
a. Fase pertama : terjadinya kontak bahasa antar bahasa pendatang dengan bahasa lokal. Dalam kontak bahasa, masyarakat melakukan proses penyederhanaan tata bahasa, kosakata, bahkan cara pengucapan agar lebih mudah dimengerti oleh sesama masyarakat multilingual tersebut. Kontak bahasa tersebut diiringi dengan gestures atau komunikasi non fisik (bahasa tubuh, mimik muka, dll) untuk mengkomunikasikan kebutuhan, istilah-istilah perdagangan, dll.
b. Fase kedua : Bahasa yang telah di ’modifikasi’ atau disederhanakan tersebut digunakan secara reguler selama kontak masyarakat multilingual berlangsung.
c. Fase ketiga : kosakata-kosakata teknis diperluas, biasanya dengan meminjam pada bahasa yang paling dominan.
d. Fase keempat : penggunaannya bahasa pijin secara reguler dalam situasi tertentu jika terus dipertahankan hingga memiliki penutur asli, maka ia berpotensi untuk menjadi bahasa kreol.
2. Kreol
Beberapa ahli mengemukakan beragam pendapat tentang kreol, diantaranya;
a. Crystal (1992): kreol merupakan bahasa pijin yang telah dijadikan sebagai bahasa ibu. Berdasarkan pendapat ini, kreol dan pijin adalah dua tahap proses perkembangan bahasa.
b. Wardhaugh (1988) : kreol adalah bahasa normal sebagaimana bahasa-bahasa lain, maka kreol memiliki penutur asli tetapi tidak serupa dengan bahasa-bahasa standar lain.
c. McMahon (1994) : kreol ialah kebalikan dari pijin. Jika pijin adalah penyederhanaan bahasa maka kreol adalah pengembangan, elaborasi, dan perluasan bahasa.
d. Ibrahim (1995) : Kreol merupakan pengembangan pijin sebagai bahasa pembantu bagi komunitas multilingual maka kreol pun hanya menjadi bahasa asli sebagian orang.
e. Thomason (2001) : kreol merupakan bahasa asli suatu komunitas yang tercipta dari kontak lebih dari dua bahasa yang berbeda.
f. Holmes (1992) : kreol adalah pijin yang telah memiliki penutur asli.
Pendapat-pendapat tersebut secara garis besar sama meski disampaikan dalam susunan yang berbeda. Dengan menelaah pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kreol dan pijin merupakan satu proses perkembangan bahasa yang muncul akibat kontak antar masyarakat multilingual.
Ciri-ciri bahasa kreol menurut Holmes (1992) adalah adanya perluasan tata bahasa dan kosakata untuk mengakomodasi makna-makna baru. Para ahli bahasa telah mengadakan pengamatan yang mendalam terhadap proses-proses kreolisasi suatu bahasa. Todd (1974) merumuskan beberapa tahapan kreolisasi, yaitu;
a. Fase pertama : Terjadinya kontak marginal
Bahasa pijin dituturkan oleh masyarakat dari semua level dan dalam situasi apapun. Karena ditujukan untuk mempermudah komunikasi antar masyarakat multilingual, maka tata bahasa, kosakata, cara pengucapan pun dimodifikasi biasanya dari bahasa superstratum (dominan) dengan bahasa-bahasa substratum (bahasa yang tidak dominan) dengan proses penyederhanaan (simplifikasi). Ketika proses simplifikasi tata bahasa dan kosakata telah dilalui, serta telah secara turun temurun dituturkan oleh masyarakat penuturnya maka bahasa “sederhana” tersebut telah memiliki penutur asli (Native speaker). Yang disebut kontak marginal disini adalah bahwa bahasa pijin dibuat dan dituturkan oleh sebagian kecil masyarakat yang berkepentingan untuk berkumpul bersama saja.
b. Fase kedua : Terjadinya ekspansi atau perluasan baik secara fonologis, semantis, sintaksis, maupun leksikon.
Disinilah sebenarnya proses kreolisasi berlangsung yaitu ketika masyarakat penutur bahasa pijin mengukuhkan identitas kebahasaannya dengan memantapkan tata bahasa serta melakukan elaborasi dan ekspansi kosakata (McMahon. 1994). Beberapa proses yang dilakukan dalam rangka ekspansi dan elaborasi diantaranya adalah reduplikasi, peminjaman, compounding atau penggabungan, dll.
c. Fase ketiga: Terjadinya pengaruh bahasa yang lebih dominan.
Ketika bahasa pijin telah memiliki penutur asli, secara natural ia menjadi bahasa kreol. Dalam proses perjalanannya, selain melakukan proses elaborasi dan ekspansi, secara alamiah bahasa kreol masih dipengaruhi oleh bahasa-bahasa superstratum dan substratum yang saling bercampur dalam proses pijinisasi.
Diulas dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar